Sampai lima bulan aku diamkan saja.
Sekarang aku sudah tidak tahan lagi. Benjolan
itu semakin terlihat besar dan melebar, dan
parahnya semakin mengganggu aktifitas
sebagai pejalan kaki. Benjolan itu terasa sangat
menyakitkan jika telapak kakiku menyentuh
permukaan bumi.
Aku memutuskan berkunjung ke sebuah
rumah sakit swasta di hari kedua lebaran
bersama bibiku, seorang perawat puskesmas.
Kami langsung menuju ke ruang Unit Gawat
Darurat.
Pikiranku langsung terlempar dalam
kenangan saat aku kelas enam SD waktu mencium
bau obat yang menyengat dalam ruangan ini. Suatu
hari sepulang sekolah aku langsung menuju ruang
Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit umum
karena sakit perut yang membuatku tidak bisa
berjalan, hanya bisa mengerang.
Semula aku masih bisa menahan rasa takut
berada di sekeliling orang yang terbaring di atas
kasur tipis beralaskan seprai putih, sampai tibatiba
segerombolan perawat berpakaian putih
mendorong dengan cepat sebuah kasur beroda
dan dihentikannya tepat di sebelah kasurku. Di
atasnya terbaring pria botak berlumur darah. Dia
tidak bergerak sama sekali. Mulutnya menganga,
mata terpejam menghadapku. Kata orang yang
mengantar, orang di sebelahku ini kecelakaan
sepeda motor.
Meskipun hanya dalam hitungan detik tirai
pemisah langsung ditutup, aku sudah terlanjur
melihat. Darah di sekujur muka dan badan
menambah seram ruangan besar yang gelap itu.
Aku menyumpah dalam hati tidak akan pernah
mau terbaring di kasur rumah sakit lagi. Tapi
aku mengkhianatinya.
Aku hanya bisa mempertahankan sumpahku
sampai hari ini saja. Resepsionis yang menunggu
meja di depan ruang UGD menyambut kami.
"Selamat pagi, bisa kami bantu?"
"Nih, mau ngangkat mata ikan, ujar bibiku
sambil menunjuk kakiku."
"Oh, silakan tunggu di sana ya. Ruang
tindakannya sedang ada pasien," balas resepsionis
mengarah tangannya ke sebuah kasur kosong
tidak jauh dari meja yang ditungguinya, lalu
jemarinya bergeser menunjuk sebuah ruang yang
berada persis di depan kasurku kelak.
Yang membuatku sedikit lebih tenang, ruang
ini terasa lebih cerah karena cahaya sepertinya
tidak takut untuk masuk ke dalam. Keramik putih,
dindingnya bersih, ruangan tidak terlalu besar,
hanya ada lima deret kasur tipis, perban, obatobatan
cair, plester dan obat-obatan yang aku tak
tahu lagi apa namanya. Pasien di sebelahku pun
bukan korban kecelakaan hanya seorang anak
kecil. Aku tidak tahu dia sakit apa, tapi yang jelas
aku mendengar suara batuknya yang berat dari
balik tirai dan sebuah kursi roda disiapkan di
samping kasurnya.
Dalam masa penantian eksekusi, dari
atas kasur aku melihat pintu ruang tindakan
yang terbuat dari kaca warna putih terbuka.
Seorang perawat, perempuan, mengenakan
sarung tangan karet keluar membawa sebuah
botol pispot berisi cairan berwarna kuningkecoklatan
menuju pintu yang aku lewati tadi.
Lalu dalam ruangan itu kulihat kakek-kakek,
ia jalan tertatih-tatih turun dari tangga kasur
menuju kursi roda dituntun oleh pemuda
berbadan besar, sepertinya anak si Kakek. Kakek
ini semakin tampak tidak berdaya saja karena
selang infus menempel di lengan kirinya.
....
Sumber : Pikiran Rakyat 22 Desember 2007
Sinopsis unsur instrinsik
BalasHapus