Sabtu, 14 Januari 2012

Kereta ereta Raksasa Karya Dasmo Rahardiyanto

Malam dingin menggigil. Udara terasa membekukan sendisendiku.
Angin yang berhembus disertai derasnya hujan, membuat
malam semakin terasa keparat. Gemercik air hujan
terdengar berjatuhan membentuk simfoni alam yang menggelisahkan.
Kecuali suara kodok yang menjengkelkan, tak terdengar
binatang malam yang berbunyi. Aku duduk termangu terjebak
hujan di sebuah stasiun. Hujan seperti tumpah. Malas rasanya
aku pulang berhujan-hujan.
Kunyalakan sebatang rokok. Kuhisap dalam-dalam sambil
kusandarkan badanku pada salah satu kursi fiber yang berjejer
di halaman stasiun itu. Hah, lelah betul aku hari ini, gerutuku.
Sebagai karyawan kecil di sebuah perusahaan swasta, seharian
bekerja selalu membawa dan menyisakan kele-lahan luar biasa.
Tidak jarang pula membawa pulang sakit hati dan menjemukan,
dan ke-sengsaraan yang seperti mengolok-olok nasib wong cilik.
Apakah kesalahanku sama dengan stasiun ini? Stasiun yang sudah
tua, kelihatan pucat ditelan masa. Renta, jorok, tidak terawat.
Sosoknya yang dulu barangkali gagah, kini lemas kedinginan,
berantakan.
Hujan semakin deras. Suara kereta terdengar menderu dari
kejauhan. Tak lama kemudian kulihat kereta yang padat siap
memuntahkan penumpangnya yang berjejalan, lalu serabutan
menyerbu dan memasuki stasiun. Pengeras suara mewartakan
jalur yang akan dilintasi kereta itu. Belum juga kereta itu berhenti
benar, para penum-pang berhamburan dari dalamnya. Muntahan
kereta itu, tumpah-ruah memenuhi peron. Suara derap sepatu
dari para penumpang segera memecah kesunyian. Wajah-wajah
lelah, bau busuk keringat, dan pakaian yang lusuh, seperti
berseliweran mengganggu mataku.
Di antara temaram lampu-lampu yang menyinari stasiun,
kudengar deru mobil sekali-sekali melintas di bawah air hujan.
Sementara itu, beberapa meter dari tempatku duduk, sekelompok
orang sedang asyik ngobrol di loket penjualan karcis.
Tepat di atas kepalaku tergantung sebuah
tulisan yang tidak jelas hurufnya terbuat dari seng,
dengan ukuran kira-kira 20 x 30 sentimeter.
Bergoyang-goyang terkena hembusan angin.
Kadang-kadang berbunyi lesu jika angin besar
menghempasnya.
Tempat duduk berderet di sepanjang stasiun.
Di atas deretan tempat duduk itu, kokoh
terbentang atap seng sebagai pelindungnya.
Semua penyangga dan tiangnya terbuat dari besi.
Tetapi, kurasakan stasiun ini agak berbeda. Tidak
seperti waktu pertama kali aku menginjakkan kaki
di stasiun ini tiga tahun lalu. Cat temboknya tampak
sudah muram. Lantainya menggambarkan
kejorokan, dan jalanan di sepanjang stasiun becek
tergenang air dan lumpur. Sampah yang berserak
seperti telah menjadi bagian penting dari kejorokan.
Sejurus pandanganku tertanam pada rel
kereta api. Serta merta kereta kembali terdengar.
Tampak, lampunya berkedip-kedip dari kejauhan.
Selang beberapa menit kelihatanlah kepala kereta
dengan gerbong panjangnya. Astaga ada apa ini!
Aku terkejut dan bermaksud hendak lari menjauh.
Kulihat si ular besi ini wujudnya menjadi lebih
besar dan semakin besar. Ukurannya kira-kira
sepuluh kali lipat dari kereta biasa.
Derunya yang bergemuruh dan wujudnya
yang besar lagi mengerikan, seakan hendak
memakan segala yang ada di depannya. Tanpa
bisa ditahan lagi, entah bagaimana tiba-tiba
stasiun ditabraknya. Suara dahsyat yang luar biasa
kerasnya, memecahkan telingaku. Kereta tergelincir
dan ambruk menyeruduk stasiun. Suara berderak-
derak dan kacau terdengar ditimpali
beberapa kali ledakan. Stasiun hancur seketika,
sementara kereta terus menggerus semua benda
yang menghalanginya. Api menyala di sepanjang
stasiun. Jeritan dan teriakan memekik menjadi
sungguh-sungguh menciptakan kengerian yang
tak terperikan.
Dalam situasi seperti itu, aku terpana di antara
bengong, ketidakpercayaan, dan ketakutan pada
penglihatanku sendiri. Tangan dan kakiku gemetar.
Nafas seakan terputus seketika itu. Kulihat di
sekelilingku, orang berlarian lintang pukang. Apakah
ini kiamat?
“Tolong! Tolong!” Suara orang menjerit-jerit
terdengar jelas di tengah hiruk-pikuk dan teriakan
histeris. Masih ada orang hidup, pikirku cepat.
Dengan jantung yang berdegup kencang, aku
nekat mendekati suara itu.
Tampak di depanku seorang wanita tua
terjepit di antara reruntuhan. Besi-besi yang menghimpitnya
membuat dia tak berdaya. Wajahnya
kacau, sementara matanya tampak sedang
meradang maut.
Aku segera menghampirinya. Entah dapat
kekuatan dari mana tiba-tiba saja badanku yang
tadi lemas, kini segar kembali. Dan luar biasa!
Tenaganya seperti datang berlipat-lipat ganda.
Dengan enteng kubengkokkan besi yang menghimpit
wanita itu. Aku tak menyangka mempunyai
kekuatan seperti ini. Di luar dugaan aku berhasil
menarik keluar wanita tua itu dari reruntuhan.
Setelah berhasil kuselamatkan, tampak
tubuhnya bergetar. Mulutnya menganga. Nafasnya
berat terengah-engah. Sedang sekaratkah, pikirku.
Dan tak lama kemudian dia diam. Kugoyang-goyangkan
kepalanya. Tetapi ia tetap diam. Badannya
terasa makin dingin. Inilah kematian yang mengenaskan!
Tak seberapa jauh dari situ kulihat kepala
yang lepas dari badannya. Darahnya mengalir. Rasanya
aku ingin berlari seketika itu juga. Mengerikan
sekali! Aku terus mencari korban yang mungkin
masih hidup.
Di antara langkahku yang tergesa-gesa, kulihat
korban-korban bergelimpangan di manamana.
Tiba-tiba saja ada yang menabrakku dari
belakang. Aku jatuh dan tersungkur. Aku kaget.
Kemudian, aku bangun. Kulihat sesosok tubuh
terkapar. Sembari menangis perempuan tua itu
mencoba bangkit. Kuangkat tubuhnya. Terlihat
olehku mata orang ini berlumuran darah.
Suasana stasiun kini menjadi lebih kacau.
Orang-orang berdatangan. Seperti halnya aku,
mereka juga mencari korban yang ada di antara
reruntuhan stasiun dan besi-besi kereta. Tak
jarang terdengar suara jeritan dan ketakutan. Di
antara mereka ada yang mengais-ngais potonganpotongan
tubuh korban atau menyeret korban
yang tewas.
Hujan masih saja turun. Suasana duka terasa
menyelimuti stasiun ini. Dari kejauhan kudengar
suara raungan mobil ambulans dan pemadam
kebakaran. Para korban dilempar begitu saja ke
dalam mobil ambulans. Mereka yang masih hidup
dilarikan segera. Sementara yang meninggal
dijejerkan di tempat yang agak terbuka. Suara
tangis, rintihan dan hiruk-pikuk yang tak jelas,
terdengar di sana-sini dan terus memekakkan
telinga.
Sekali-kali kulihat kaki, tangan, dan bahkan
kepala bergelimpangan. Darahnya tampak masih
segar. Tak terbayangkan betapa shocknya aku pada
saat itu. Mengapa hal seperti ini harus kusaksikan?
Rasanya aku tak mempercayainya segala yang kulihat
saat ini.
Hujan sudah mulai reda. Di beberapa bagian
peron stasiun tampak orang masih berkerumun,
ada juga yang terus mencari korban. Setelah
berapa lama, terdengar lagi suara kereta dari kejauhan.
Kami pun tersentak kaget. Tidak menyangka,
dalam situasi yang porak poranda seperti
ini, masih juga ada kereta yang akan melintas
stasiun ini. Seharusnya jalur kereta ditutup untuk
sementara, pikirku. Kami berlari tak tentu arah.
Suasana menjadi semakin kacau. Aku tidak lagi
mempedulikan para korban. Orang-orang yang
tadi ikut membantu para korban, segera berlari
menyelamatkan diri.
Dari kejauhan kulihat kereta melaju dengan
kencang dari arah berlawanan dengan kereta
yang tadi menabrak. Anehnya kereta ini berjalan
tidak melewati stasiun, melainkan melintas menuju
ke arah reruntuhan kereta yang tadi. Secara
refleks, aku melompat dan berlari tidak tentu arah.
Suara teriakan dan jeritan tak terelakkan lagi.
Kutengok ke belakang. Kulihat kereta sudah
semakin dekat. Aku tersungkur, tak kuasa lagi
berlari. Tetapi, masih sempat aku menjerit
sekencangnya sebelum sesuatu terjadi atas diriku.
“Bang! Ada apa?” Sekonyong-konyong
seseorang menegurku. Aku tersadar dan
gelagapan.
“Oh, tidak ... ! Tidak apa-apa!” jawabku
sekenanya.
Orang itu pergi sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Aku masih bingung. Kulihat stasiun yang
tadi hancur ternyata masih utuh. Kuperiksa anggota
badanku, tidak apa-apa, juga tidak mengalami luka
apa pun. Lalu, bagaimana dengan peristiwa tadi?
Setengah sadar, aku beranjak bangun.
Setengah berlari kutinggalkan stasiun tanpa kuasa
lagi menepis sisa mimpi yang masih terasa
mengejarku.
Dikutip dengan pengubahan seperlunya
untuk keperluan pembelajaran
Setelah berhasil kuselamatkan,
tampak tubuhnya bergetar. Mulutnya
menganga. Nafasnya berat
terengah-engah.
Cerpen ini ditulis oleh Dasmo Kahadiyanto ketika
yang bersangkutan masih tercatat sebagai siswa
kelas IC Sekolah Menengah Umum Yayasan Remaja
Masa Depan (SMU YRMD) Kebon baru, Tebet,
Jakarta Selatan. Cerpen ini dimuat di Majalah
Horison 2002 - dirubrik Kaki langit.

1 komentar: