Sabtu, 14 Januari 2012

H I P N O T I S Oleh Euis Sulastri

Di balik jerjak jendela rumahnya, Kinasih
menyaksikan jatuhnya titik-titik air hujan. Ia
merasakan betapa sakitnya air itu tatkala membentur
kerikil atau koral. Begitu banyak orang membiarkan
titik-titik air hujan itu jatuh ke tempat tak
layak. Bila bumi tertutup sampah atau beton, mereka
akan menggenang memenuhi seluruh
permukaan. Kalau sudah begini, air jugalah yang
dipersalahkan. Titik-titik air itu adalah aku, yang
kini jatuh lalu dicaci dan dicerca. Semua mempersalahkan
aku, gumamnya dalam hati.
Ingin sekali ia menggantikan batu-batu itu
dengan spons agar air itu jatuh ke tempat empuk.
Bahkan ia juga ingin menampung seluruh titik air
yang jatuh ke tempat tak layak itu untuk ia bagikan
saat musim kemarau panjang. Namun sungguh
ia tak kuasa.
Entah sudah berapa lama Kinasih berdiri di
sana. Entah sudah berapa banyak titik air itu membentur
batu. Namun kembali ia menyesal, ia tak
sanggup menolongnya. Bahkan ia sudah lama tak
berani membuka jendela itu lebar-lebar. Apalagi
pintu rumahnya. Ia hanya berani keluar rumah
untuk menjemur handuknya di taman belakang
yang diapit oleh tembok rumah tetangganya. Tak
seorang pun dapat melihatnya di sana. Palingpaling
hanya Si Mbok, pembantu yang setia mendampinginya
selama ini.
Seharian ia betah sekali mengurung diri di
kamarnya. Terlebih bila sudah membuka-buka
album foto kenangan bersama suami yang
dicintainya. Terkadang album itu nangkring di dadanya
berjam-jam lamanya. Album itu baru
berpindah tempat kalau Si Mbok yang memindahkannya.
Sementara pemiliknya, merajut mimpi
bersama suaminya yang menunggunya entah di
mana.
Kebiasaan seperti itu ia lakukan tak lama
setelah ia kalah di sidang pengadilan. Ia menggugat
seseorang yang telah menjatuhkan harga
dirinya. Lelaki itu telah mencabik-cabik mukanya
dan menyayat-nyayat hatinya dengan sembilu
kemudian mengucurinya dengan air jeruk nipis.
Begitulah kira-kira pedihnya Kinasih saat ini.
Sebagai orang timur, ia begitu menjunjung
tinggi kehormatannya. Ia tahu benar, mana yang
boleh dan yang tak boleh ia lakukan. Sebab Bapak
dan ibunya sangat menanamkan tata susila dan
budi pekerti.
“Nduk, ingat, jagalah kehormatan dan harga
dirimu baik-baik. Janganlah kamu corengkan
jelaga di muka orang tua dan suamimu hanya
gara-gara kelakuanmu. Ibu dan Bapak sudah
membekalimu dengan ilmu dan agama. Kehormatan
dan harga diri wanita ada pada ciri kewanitaanmu
itu sendiri. ” Begitulah orang tuanya
menasihati saat akan melepas anaknya pindah ke
kota Jakarta, mengikuti jejak suaminya yang pilot
itu.
Nasihat itu selalu terngiang-ngiang di telinganya.
Bahkan saat ini nasihat itulah yang sangat
menusuk-nusuk jantung dan hatinya. Ibu, Bapak,
aku telah mencoba menjaganya dengan sebaikbaik
aku menjaganya. Tapi mengapa berat benar
cobaan yang aku alami saat ini, gumamnya.
Kembali bayangan peristiwa setahun lalu
menyeruak di hadapannya, saat sebagian besar
orang bertepuk tangan mendukung keputusan
hakim. Saat itu ingin sekali Kinasih menampar dan
meludahi wajah Sang Aktor. Yang telah menodainya.
Namun ia tak kuasa karena seluruh sendinya
begitu lunglai.
Sang Aktor segera digandeng oleh seorang
perempuan muda yang cantik. Mungkin ia ingin
membangun opini publik bahwa tak mungkin ia
melakukan perbuatan bejat itu kepada Kinasih
yang janda itu. Masih banyak gadis cantik yang
mengejarnya sehingga anggapan masyarakat,
Kinasih hanya mencari sensasi saja. Di belakangnya
para pengacara dan dua orang bodyguard
menggiring Sang Aktor dengan senyum bangga.
Mereka melambai-lambaikan tangannya.
Nyamuk pers memburunya dengan berbagai
pertanyaan.
“Bagaimana perasaan Anda saat ini?”
“Biasa-biasa saja karena sudah sepantasnya
saya bebas dari tuduhan itu. Sudah saya katakan
dari awal, bahwa … siapa nama perempuan itu?”
Sang Aktor pura-pura lupa menyebut nama
Kinasih.
Para wartawan serempak menjawab. “Kinasih
….!”
“Ya, Kinasih, dia hanya mencari sensasi saja.”
Segera kedua bodyguard-nya mendorong
para wartawan itu untuk minggir karena sang
aktor akan segera memasuki Ford Eferestnya.
Selain Sang Aktor, Kinasih pun tak lepas dari
buruan nyamuk pers.
“Apa yang akan Anda lakukan setelah ini?”
“Memohon keadilan pada yang Maha Adil dan
yang Maha Menyaksikan. Keadilan di dunia hanya
milik segelintir orang. Dan itu bukan milik para
janda. Saya hanya ingin mengatakan bahwa tak
semua janda menghendaki status itu. Dan kalaupun
ada di antara kami yang rusak, bukan berarti
kami semua harus ikut rusak. Kami ini bukan virus
atau monster yang harus ditakuti. Kami juga
punya perasaan dan harga diri.”
Kinasih dikejutkan oleh Si Mbok yang membuyarkan
bayangan kegetirannya, “Nduk, makan
siang sudah siap dari tadi, sampai-sampai sudah
dingin. Bok sudah, jangan dipikir terus. Serahkan
saja pada Gusti Allah. Bukankah kita semua sudah
habis-habisan mengusahakan hingga rumah yang
bagus sudah terjual. Sekarang, janganlah kesehatan
Nduk pertaruhkan. Kalau saja Ndoro Putri
dan Ndoro kakung tahu bahwa putrinya melamun
terus pasti mereka lebih menderita lagi. Kata-kata
pembantunya yang begitu setia mendampinginya,
baru kali ini berhasil menghidupkan kembali semangatnya
yang telah mati.
Suatu hari Kinasih memberanikan diri juga
keluar rumah untuk mengambil uang di ATM yang
tak begitu jauh dari rumahnya. Selama ini Si Mbok
yang melakukannya, setelah Kinasih ajari secara
sabar.
Baru saja Kinasih akan meninggalkan anjungan
itu, tiba-tiba seorang lelaki bertanya tentang
sebuah alamat yang dicarinya. Karena ia
mengetahuinya, Kinasih menjawabnya dengan
ramah. Lelaki itu berterima kasih pada Kinasih
sambil menepuk lengannya. Setelah itu Kinasih
tak ingat apa-apa lagi. Entah bagaimana caranya
sampai kartu ATM itu berpindah tangan. Kinasih
merasa tak habis pikir, mengapa lelaki itu begitu
mudahnya menguras seluruh uang tabungannya.
Dan yang lebih aneh lagi, ia pun menyebutkan
dengan jujur nomor PIN-nya.
Kinasih akhirnya pulang dengan tangan
hampa. Kejadian itu tak ia ceritakan pada Si Mbok.
Lama juga ia tercenung di kamar sendirian.
Namun tiba-tiba bibirnya yang mungil, sedikit
mengembang dan matanya yang selama ini
sembab, terbelalak, kepalanya menganggukangguk.
Dari mulutnya tiba-tiba keluar kata-kata,
“Akan kucari kau penghipnotis, sampai ke
mana pun kau akan kucari!”
Hampir tiap hari Kinasih bertualang mencari
penghipnotis itu dari ATM ke ATM, sebab ia yakin
tempat beroperasinya di sekitar tempat-tempat
seperti itu.
Suatu hari, di hari ke-21 pencariannya,
tepatnya tanggal muda, ketika orang ramai mengambil
uangnya di ATM, Kinasih begitu kaget melihat
seseorang yang pernah dilihatnya. Kinasih
mencoba mengerahkan seluruhn ingatannya.
Akhirnya ia yakin, dialah lelaki yang selama ini dicarinya.
Ciri lelaki itu memang sempat sedikit
terekam dalam ingatannya, tubuhnya tinggi atletis,
dagunya panjang, dan wajahnya lumayan tampan.
Lelaki itu kini sedang mengikuti wanita muda yang
baru saja mengambil uang di ATM. Lelaki itu
menepuk bahu wanita muda di tempat yang agak
sepi. Kinasih menyaksikannya dari jarak yang tak
terlalu jauh. Saat itu hari sudah mulai senja. Tak
ada orang lain yang memperhatikannya, kecuali
dirinya. Tanpa banyak basa-basi wanita muda itu
menyerahkan seluruh uang yang baru saja
diambilnya dari ATM.
dari sasarannya, segera ia pergi meninggalkan
wanita itu. Dan Kinasih memberanikan diri
menguntitnya dari belakang.
Lelaki itu menaiki mikrolet yang sedang ngetem.
Tanpa ragu-ragu Kinasih pun ikut naik mikrolet
yang sama. Kinasih melirik dengan ekor
matanya, namun ia tak menghiraukan Kinasih
sedikit pun.
Mikrolet terus melaju memasuki jalan-jalan
kecil yang hanya dapat dilalui oleh dua buah mobil
kecil. Sampai di sebuah tikungan, tiba-tiba lelaki
itu menyentilkan telunjuknya ke langit-langit mobil.
Sopir mikrolet menurunkannya tepat di mulut gang
kecil. Kinasih pun bergegas mengikutinya.
Sepanjang gang, anak-anak kecil ramai
bermain galasin. Lingkungannya begitu kumuh dan
padat. Tak seorang pun mau memperhatikan
Kinasih. Hal itu sangat dimaklumi, sebagian
penduduk Jakarta memang terkenal dengan filosofi
hidupnya, elu-elu, gue-gue. Hampir di ujung
gang, penghipnotis itu berbelok ke arah kiri, masuk
ke gang buntu yang sangat sempit. Di ujung gang
buntu itulah ia memasuki rumah yang pintunya
tak beda tingginya dengan tubuhnya yang jangkung
itu.
Kinasih berhenti sebentar untuk menarik
nafas panjang. Setelah itu ia segera memberanikan
diri untuk berdiri di depan pintu yang belum
sempat ditutup oleh penghuninya.
“Permisi, boleh saya masuk?”
“Anda siapa, bukankah Anda yang tadi satu
mikrolet dengan saya, mau bertemu siapa, dan
mau apa?’’
Pertanyaannya begitu memberondong.
Kinasih merasakan pertanyaan itu agak kurang
enak didengar. Namun ia harus membuang
perasaan tersinggungnya. Ia bertekad untuk
mengubah pribadinya. Kinasih yang dulu lembut,
pemalu, dan penakut kini harus sebaliknya sebab
dengan sikap asalnya itu malah merugikan dirinya.
“Saya Kinasih yang beberapa hari lalu Anda
hipnotis di sebuah ATM,’’ begitulah Kinasih membuka
pembicaraan. Kinasih menangkap perubahan
ekspresi lelaki itu begitu cepat. Wajahnya memerah,
dahinya berkerut.
“Maaf, saya datang ke mari bukan untuk meminta
kembali kartu ATM saya, melainkan saya
ingin mengucapkan terima kasih kepada Anda
karena sudah berhasil menghipnotis saya. Begitu
salut saya pada Anda karena saya telah berkata
sejujur-jujurnya tentang nomor PIN saya. Atas dasar
inilah, saya ingin meminta pertolongan. Dan
saya mengerti, setiap jasa orang lain harus saya
hargai.”
Dahi penghipnotis semakin berkerut, namun
tak lama kemudian ia tertawa ngakak. Sampaisampai
air liurnya hampir menyemburat kalau saja
tak ditahan dengan tangannya. Pasalnya baru kali
ini ia mengalami peristiwa aneh tapi nyata itu.
“Maaf, apa saya tak salah dengar? Anda
berterima kasih begitu tulusnya atas ulah saya
yang telah menghipnotis Anda. Padahal, selama
lima belas tahun saya menyandang profesi sebagai
penghipnotis, saya hanya dicaci-maki, disumpahserapahi,
bahkan dijauhi dan ditakuti oleh banyak
orang.”
“Betul, saya sungguh-sungguh. Ini KTP saya.
Boleh Anda tahan kalau saya main-main,” tangan
Kinasih tampak agak gemetar. Ia sedikit memaksa
penghipnotis untuk mengambil KTP yang ia
sodorkan. Penghipnotis itu membaca lamat-lamat
nama dan alamatnya.
“Ya, tapi bagaimana saya bisa percaya pada
Anda begitu saja. Jangan-jangan Anda seorang
wartawati atau wanita reserse?”
“Wah, Anda salah besar. Kalau tidak percaya
juga, ini ID card saya.”
Sambil sedikit tersenyum, lelaki membaca
kartu keanggotaan Kinasih.
“Sepertinya, beberapa bulan yang lalu, nama
Anda ini sering saya dengan di berita infotainment.
Dan kalau tak salah dengar, bukankah Anda yang
berseteru dengan seorang aktor yang sedang naik
daun?”
“Ya, itulah saya.”
“O, jadi Anda orangnya? Ternyata wajah Anda
di televisi tak seindah warna aslinya,” begitulah ia
menyanjung kecantikan Kinasih dengan meniru
kalimat sebuah iklan.
“Itulah sebabnya saya datang ke mari
sehubungan dengan kasus saya selama ini. Telah
banyak jalan yang saya tempuh, tetapi kemenangan
tak pernah berpihak pada saya. Bahkan
saya menjadi anggota asosiasi tersebut pun agar
mendapat dukungan dari teman-teman yang
senasib dengan saya. Ketua asosiasi telah memperjuangkan
saya namun tidak berhasil juga.
Jadi maksud saya, tak lain dan tak bukan, ingin
membuktikan dengan cara saya sendiri. Saya yakin
lewat Anda usaha saya akan berhasil.”
Kinasih mengungkapkannya dengan mata
berkaca-kaca. Air matanya yang telah kering,
kini ada lagi. Namun kali ini air mata penuh harapaan.
Kinasih meremas-remaskan kedua
tangannya, menumpahkan dan melampiaskan
sakit hatinya.
“Jadi, sekali lagi tolonglah saya . Kalau sudah
berhasil saya pasti sangat berterima kasih kepada
Anda.”
Air mata kegetiran Kinasih rupanya berhasil
menumbuhkan kembali hati nurani penghipnotis
yang selama ini telah sirna. Ia bayangkan seandainya
yang mengalami masalah itu adiknya, yang
juga seorang janda. Pasti ia pun akan sangat
geram.
“Apa yang harus saya lakukan?”
Karena dia telah mempermalukan saya di
depan umum, saya ingin dia juga merasakannya.
Lalu Kinasih menjelaskan apa saja yang akan mereka
lakukan.
“Kalau begitu, kapan kita memulainya?”
“Secepatnya.”
Keesokan harinya mereka mulai bekerja.
Keduanya berlaku sebagai spionase, menyelidiki
keberadaan Sang Aktor. Mereka sudah mengontak
wartawan infotainment bekerja sama dalam
perburuan.
Kesempatan yang ditunggu-tunggu akhirnya
muncul juga. Sang aktor berjalan-jalan di sebuah
plaza yang terkenal di bilangan Senayan. Tanpa
membuang-buang waktu, penghipnotis itu melakukan
tugasnya. Saat itu ia menggunakan kostum
meniru gaya seorang penghipnotis yang belakangan
ini sering muncul di televisi dalam menghibur
penonton. Celana panjang dan kaus lengan
panjang hitam-hitam. Kepala ditutup dan diikat
dengan kain hitam. Kebetulan tubuhnya atletis,
mirip juga dengan penghipnotis yang terkenal itu.
Bila orang tidak mengamati penghipnotis gadungan
itu dengan teliti, pasti mereka terkecoh.
Saat sang aktor berjalan santai dengan
kekasihnya, panghipnotis mengikuti dari belakang.
Sementara itu Kinasih bersembunyi dengan jarak
tak terlalu jauh dari mereka. Penghipnotis
menyenggol bagian tubuh tertentu Sang Aktor.
Kerja yang cekatan ia lakukan. Crew infotainment
sudah siap di sana. Acara yang menarik itu
dibuatnya sebagai siaran langsung mirip salah satu
acara remaja yang menyelidiki kesetiaan kekasihnya.
Penghipnotis seketika itu juga mengusap
wajah Sang Aktor. Sementara kekasihnya hanya
senyum-senyum saja. Sungguh, ia juga terkecoh.
“Masuki alam kejujuranmu, katakan dengan
sejujur-jujurnya apa yang telah Anda lakukan
terhadap seorang janda bernama Kinasih di rumah
Anda!” Demikian kalimat bernada perintah namun
lembut ia katakan.
Sang Aktor mengikuti perintahnya. “Hari itu
tepatnya Selasa, 13 Desember tahun 2004. Jam
menunjukkan tepat pukul 10.00 pagi, sengaja saya
pilih waktu itu karena biasanya penghuni kompleks
sedang pergi bekerja. Yang menjadi tempat
peristiwa itu, di rumah saya sendiri, tepatnya di
sebuah ruang musik agar tak ada orang yang
mendengarnya. Di sanalah saya menggagahi
kehormatan seorang janda bernama Kinasih. Saya
memintanya datang ke rumah dengan berpura-pura akan
membeli batik dagangannya. Wajahnya sangat ayu. Saya
memang mengaguminya sejak saya membeli batik yang
pertama kali. Tapi tak berniat serius karena saya seorang
perjaka sementara dia, janda. Darah kelelakianku saat itu tak
kuasa kubendung... .”
Ia mendeskripsikan peristiwa itu dengan jelas, gamblang,
dan lancar, tanpa keragu-raguan sedikit pun. Sang Aktor menjelaskan
peristiwa itu secara kronologis. Setelah semuanya
diungkapkan, dipanggilnya Kinasih yang tak jauh dari tempat
persembunyiannya. Dimintanya Kinasih berdiri di sebelah Sang
Aktor.
“Apakah wanita yang Anda maksud adalah ini? Penghipnotis
menunjuk pada wanita lain.
“Bukan.”
Pertanyaan yang sama juga dilontarkan dengan menunjuk
pada wanita yang lain lagi. Demikian penghipnotis melakukannya
hingga lima kali.
Sang Aktor tetap menjawab, “Bukan.”
“Apakah perbuatan itu Anda lakukan kepada wanita ini?
Kali ini penghipnotis menunjuk pada Kinasih.
“Benar.”
Pertanyaan yang sama dan arah yang sama diulang berkali-
kali. Jawaban Sang Aktor tetap sama, “benar.”
“Ya, dialah Kinasih, janda muda yang saat itu saya gagahi.”
“Sekarang minta maaflah kepada Kinasih. Bersimpuhlah
di kakinya ungkapkan dengan penyesalan.”
Sang aktor bersimpuh di kaki Kinasih. Sementara itu,
Kinasih tetap berdiri dengan senyum kemenangan.
Penghipnotis mengusap wajah sang aktor untuk kembali
menyadarkannya,
Sang Aktor mengucek-ucek matanya sambil nyengir kuda,
tersenyum bingung. Ia tak mengetahui apa yang terjadi pada
dirinya. Yang lebih membingungkan lagi, dirinya berada di depan
kamera, di tengah-tengah kerumunan orang yang sedang
menertawakannya dan berteriak-teriak, “Huuuu….” Ada juga
wanita yang melemparkan bekas botol minuman plastik ke
arahnya dengan geram. Sang Aktor begitu terperangah
apalagi ia melihat di sisinya berdiri Kinasih yang sedang tersenyum
puas. Dengan wajah yang memerah penuh malu, Sang
Aktor bergegas pergi. Kali ini tanpa lambaian tangan. Sementara
sang pacar sudah meninggalkannya lebih dahulu dengan
perasaan sangat kecewa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar