Ia hampir 70 tahun, lebih dari usia Nabi Muhammad, dan merasa maut bertambah dekat.
Malah pernah seperti dilihatnya tamu itu menatap lekat-lekat dari ambang pintu, lalu
lenyap, seakan memberi isyarat. Dan dia yakin lain kali kehadirannya tidak lagi membawa
isyarat, melainkan untuk menjemput.
Lelaki tua itu pun bersedia dijemput. Tetapi bila saat itu tiba, entah kapan, ia tidak
ingin rumahnya kotor awut-awutan. Tamu itu harus disambut dengan sebaik-baiknya.
Lelaki tua itu sudah sering melepas mereka yang berangkat dijemput tamu itu, dan
kerap pula ia saksikan orang-orang tersiksa oleh bau tidak sedap serta kotoran dari
rumah orang yang pergi.
Mula-mula beberapa orang mulai berbisikbisik,
sambil menutup hidung mereka seperti
tidak disengaja. Kemudian seperti wabah,
bertambah banyak yang melakukan.
Akhirnya mereka tidak lagi berbisik-bisik,
tetapi membincangkan bau-bau busuk dan
kotoran itu terang-terangan.
Di beberapa tempat peristiwa itu bahkan
tanpa memerlukan prolog. Begitu tiba orangorang
bergabung dengan mereka yang datang
lebih dulu, lalu terlibat dalam percakapan yang
seru mengenai aib itu.
”Alangkah celakanya orang ini,” renung orang tua itu di hadapan mayat yang terbujur
kaku. ”Alangkah malang. Bahkan saat keberangkatannya pun dia masih meninggalkan
siksa bagi sesama, karena rumahnya kotor dan bau. Ampunilah manusia ini ya, Allah.
Maafkan kekhilafannya.”
Lelaki tua itu tidak mau kemalangan serupa menimpa dirinya. Ia menggigil
membayangkan orang tersiksa karena sesuatu yang buruk yang berasal dari rumahnya,
justru saat kepergiannya pula. Dia merasa harus bersiaga dan berbenah. Dia ingin
orang-orang bebas dari bau tidak sedap, kotoran, juga debu yang menempel di manamana,
jika tamu itu tiba. Lelaki tua itu ingin rumahnya bersih dan bercahaya karena
kebersihannya, supaya penjemput itu tidak datang memberengut dan mereka yang
ditinggalkan merasa lega. ”Selamat jalan, Pak Tua. Sambutlah tamumu dengan gembira
dan mudiklah dengan tenang.”
Tetapi sungguh berat merawat rumah dalam usia tua. Membersihkan kotoran sembari
menjaga kotoran baru tidak timbul, apalagi menumpuk dan menjaga bau-bau busuk
tidak muncul, debu jangan menempel di lekuk-lekuk rumah.
Lelaki tua itu merasakan benar beratnya melakukan semua itu. Dia kerap terengahengah
dibuatnya. Seolah berderak tiap persendiannya. Sering berair matanya yang
lamur. Hanya tekad agar senantiasa siap menanti tamu itu yang membuatnya bertahan,
terus membersihkan rumah sambil berupaya menanam bunga-bunga.
Untunglah, jika bisa disebut begitu ia tak terlalu asing dengan laku itu. Almarhum
istrinya adalah orang yang khusyuk, sabar, dan juga rajin. Puluhan tahun perempuan
itu tak pernah berhenti membersihkan rumah, menghias rumahnya dengan bunga-bunga
sehingga jangankan tumpukan kotoran dan bau tak sedap, debu seakan enggan hinggap
di sudut-sudut rumah. Harum bunga-bunga yang ditanamnya semerbak sampai ke rumahrumah
tetangga, menyamankan perasaan dan pikiran mereka.
Waktu lelaki tua itu aktif sebagai pejabat, istrinya selalu siap dengan pakaian
pengganti yang bersih begitu ia pulang kantor. Pakaian kerjanya langsung dimasukkan
perempuan itu ke bak cucian. Bahkan tas kerjanya tak lepas dari perhatian istrinya.
Isinya dikeluarkan, kemudian dilap dan dibersihkan, sebab debu maupun kotoran bisa
jadi menodai tas itu.
Dan sewaktu-waktu istrinya memang menemukannya. ”Lho, ini apa, Pak? Kotornya
dari sini lho sumbernya!” ujar perempuan itu mengeluarkan amplop yang lengket di
dalam tas.
”O, itu ...tadi....”
”Dibuang sajalah, Pak! Mengotori tas Bapak saja. Hm, rumah bau jadinya. Kasihan
Bapak, kasihan anak-anak!”
Adakalanya perempuan itu menjadi amat berduka dan gemas menemukan hal-hal
serupa itu. ”Sampai hati orang-orang itu menghina Bapak,” ujarnya dengan rasa masygul
yang menjebol dinding kesabaran. ”Mengotori tas serta rumah Bapak dengan bendabenda
kotor dan bau ini!”
”Baiknya kita tidak berprasangka. Barangkali maksud mereka....”
”Tetapi mengapa Bapak yang dipilih? Mengapa pejabat negara? Lebih tepat panti asuhan
atau lembaga sosial lainnya kalau mereka tulus. Sekiranya bukan bermaksud untuk menghina
dan mengotori.”
Diam-diam lelaki tua itu merasa terharu. Bagaimanapun sebelum ia pensiun, bau-bau
tak sedap, kotoran, dan debu bertebaran riuh di luar rumah. Tidak terkecuali di kantornya.
Dan tempo-tempo ada saja yang terbawa pulang, menempel pada pakaian atau tas kerja,
sekalipun dia telah menepis-nepiskan. Angin di luar berembus kencang sehingga sulit
menghindar dari kotoran dan bau-bau busuk yang bertebaran. Beberapa kawannya malah
jadi terbiasa, bergelimang kotoran serta bau tidak sedap setiap waktu. Untung dia punya
istri yang khusyuk, sabar, dan rajin, yang menjadi bumper bagi kelemahannya. Istri yang
tidak pernah letih membersihkan rumah, merawatnya dengan aneka bunga-bunga, dan
membesarkan anak-anak mereka di dalamnya.
Lelaki tua itu mengenang perempuan itu dengan takjub, serta berterima kasih, di
sela-sela kesibukannya berbenah dengan tulang-tulang yang rapuh. Dan tenaga yang
ia rasakan semakin redup bagai nyala lilin menjelang habis. Seperti banyak kawannya,
bukan tidak mungkin dia akan terbiasa dengan kotoran dan bau-bau itu seandainya
istrinya tak ada. Angin terlalu kencang di luar rumah, bau-bau busuk dan kotoran
bertebaran di mana-mana.
Mengagumkan betapa istrinya menjaga kekhusyukan dan kesabaran merawat rumah
terus-menerus selama berpuluh tahun, sampai-sampai dijemput tamu itu tiga tahun
silam dalam usia enam puluh lima. Apa yang membuat istrinya bertahan? Keyakinan
bahwa penjemput itu mesti diterima dengan tangan terbuka di rumah yang bersih?
Mengapa istrinya tidak terengah-engah seperti dia? Mengapa istrinya tidak goyah-goyah
oleh angin, melayang-layang bagai banyak istri kawan-kawannya?
Lelaki tua itu menarik napas panjang mengenang semua itu. ”Ia memang perempuan
luar biasa,” bisiknya dalam kesunyian yang menggigit, di tengah-tengah sisa tenaganya
yang bertambah redup. Dia merasa tidak mampu menandingi kekhusyukan istrinya,
tetapi berbahagia dapat berdampingan dengan wanita itu selama puluha
Pada suatu hari lelaki tua itu pun jatuh sakit atau sakit-sakitan. Menurut dokter,
penyebabnya lebih karena kecapaian, serta berbagai akibat dari tubuh yang telah lapuk
dimakan usia maka lelaki tua itu terbaring saja di tempat tidur.
Ketiga anaknya berdatangan bersama istri atau suami mereka. Rumah jadi ramai.
Apalagi anak perempuannya, si bungsu yang serupa benar dengan ibunya itu, membawa
kedua anaknya yang belum bersekolah.
Menyaksikan cucunya menerobos kamarnya bagai dua perampok kecil, lelaki tua itu
seperti mendapatkan tenaganya kembali untuk berbenah membersihkan dan merawat
rumah. Ia merasa harus berkejaran dengan waktu. Warnanya semakin kuning-tua, mersik
bagai kerisik, sementara daun-daun muda, cucu-cucunya, telah tumbuh dengan segala
kesegarannya.
”Mau mengapa Bapak? Berbaring sajalah, Pak,” anak perempuannya mencegah
dia bangkit. Mata anaknya memerah dan basah.
”Hanya mau salat.”
”Sambil berbaring juga bisa, Pak. Badan Bapak masih lemah. Muka Bapak pucat.”
Lelaki tua itu tergolek lagi di tempat tidur. ”Kemarikan cucu-cucuku.”
Kedua anak itu ditarik ibunya mendekat. Lelaki tua itu mengusap-usap kepala kedua
bocah itu, menatap mata mereka tanpa berkata-kata, kemudian tersenyum. ”Aku ingin
salat sambil duduk,” gumamnya.
”Asal jangan dipaksakan, Pak,” sahut anak lelakinya.
”Ibu kalian itu menakjubkan,” ujar lelaki tua itu. ”Aku mencium bau bunga-bunga
yang ditanamnya. Apakah kalian tidak mencium wanginya?”
Sambil menangis, dia sesali lelaki tua itu tidak mau tinggal bersamanya.
”Bapak tahu saya tak bisa terus-terusan ke sini untuk merawat Bapak,” kata anak
perempuannya. ”Tidak mungkin saya tinggalkan rumah tiap hari, Pak.”
”Sudah betul itu, Nak. Mengapa pula kamu menangis? Masing-masing orang memiliki
rumah dan wajib merawat rumahnya baik-baik.”
”Bapak jangan berkata begitu. Pedih hati saya,” anaknya terisak-isak. ”Sungguh,
Pak. Saya ... saya tidak bermaksud....”
”Bapak tahu maksudmu. Jangan kamu menangis lagi. Rawat saja rumahmu baikbaik.
Teladani ibu kalian, rajin dan khusyuk merawat rumah sejak mudanya.”
”Tetapi Bapak juga rajin merawat rumah,” sela anak laki-lakinya menghibur. ”Bersih
kami lihat rumah Bapak.”
Lelaki tua itu tersenyum. ”Akan lebih baik jika sedari dulu dilakukan, Buyung,”
jawabnya. Matanya menerawang. ”Sekarang sudah kasip. Tenagaku sudah tidak ada
lagi. Eh, aku cium lagi harum bunga-bunga ibu kalian. Apakah kalian tidak mencium
wanginya?”
Anak perempuannya kembali menangis. Begitu pula kedua menantunya yang
perempuan. Sementara menantu serta kedua anak lelakinya saling pandang. Dan malam
itu mereka tidur bergantian, berjaga-jaga.
Tetapi tamu itu tidak datang. Juga keesokan hari dan besoknya lagi, penjemput itu
tidak muncul. Tanda-tandanya pun tidak. Lelaki itu malah kelihatan sehat dan segar, tiap
sebentar mengusap kepala kedua cucunya, serta merenungi mata bocah-bocah itu
sambil tersenyum.
”Kakek sakit ya, Kek?”
”Ya, kakek sakit.”
”Kakek sudah tua, ya?”
”Kakek sudah tua.”
”He, gigi Kakek ompong!”
”He-he-he. Namanya sudah mersik, Cu.”
”Nanti kami juga mersik seperti Kakek?”
”Semua orang bakal mersik. Tetapi kalian sekarang hijau segar. Rawat saja rumah
kalian baik-baik.”
”Kami kan belum punya rumah, Kek.”
”Nanti juga punya. Semua orang punya rumah.” Lelaki tua itu terkekeh-kekeh
membelai kedua bocah itu.
Tidak ada cahaya membersit laksana ledakan meteor dari rumah lelaki tua itu ketika
tamu-tamu yang dinanti-nantikan itu tiba. Orang-orang yang datang ingin melepas
kepergian lelaki tua itu pun tak berbisik-bisik sambil menutup hidung bagai tidak
disengaja. Mereka berbicara saja lazimnya pelayat. Para tetangga ngobrol
memperbincangkan kegemaran lelaki tua itu menanam bunga-bunga, seperti dulu
dilakukan istrinya. Sementara yang tua-tua bercakap-cakap tentang musim, ketika angin
pernah bertiup demikian kencang sehingga bau busuk dan kotoran bertebaran di manamana.
”Jarang yang mampu terhindar dari cipratan kotoran dan bau-bau tak sedap itu,”
ujar orang satu sama lain seraya memandang rumah lelaki tua itu.
Jawa Pos, 4 September 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar