Sabtu, 14 Januari 2012

Ajaran Kehidupan Seorang Nenek Oleh Nh. Dini



aku sudah mendapat kekecewaan.
“Ibu tidur di kamar Puspa tapi tidak boleh
menggendong dia,” kata anak sulungku.
“Kalau dia terbangun dan menangis?”
“Biarkan saja! Anakku tidak kubiasakan
digendong”.
Seolah-olah tidak yakin bahwa aku mengerti
kata-katanya, anakku mengulang lagi nada suaranya
terkesan mengancam.
“Betul loh, Bu! Jangan sampai begitu Ibu pulang
aku direpoti anak manja dan terlalu minta diperhatikan!”
Barangkali karena kaget, aku terdiam.
Bayangkan! Hanya ibuku yang seharusnya berhak
berbicara dalam nada seperti itu kepadaku. Aku
tersinggung. Semakin umur bertambah, sakit hati
semakin sering kualami.
*****
Aku direktris suatu rantai usaha swadaya yang
boleh dikatakan sukses. Semua karyawan di tempatku
hormat kepadaku. Berbicara nyaris kuanggap
berlebihan. Terlalu sopan bagiku. Di saat
mengunjungi perusahaan atau kantor lain, orangorang
menerimaku dengan sikap dan pandang
ering1) yang acap kali membuat aku merasa risih
sendiri. Meskipun aku tahu pasti bahwa perlakuan
mereka itu didasari pengakuan terhadap kenyataan
yang tidak bisa dibantah. Karena selain disebabkan
oleh kedudukanku, upaya pengembangan usaha
kami ke lain daerah yang berhasil, lebih-lebih
sebagai perempuan aku mampu mengendalikan
serta mempertahankan kesuksesan wiraswasta
yang ditinggalkan ayahku. Walaupun benar itu
“hanya” berupa warisan. Tapi, itu jatuh ke
tanganku tidak secara otomatis, dengan cumacuma.
Aku harus melewati tes di antara keempat
saudara kandungku.
Dalam sebuah dongeng, diceritakan bahwa
raja suatu negeri tidak dapat memutuskan kepada
siapa pun dia akan menyerahkan takhtanya. Dia
mempunyai empat anak, putra dan putri. Masingmasing
berpenampilan cakap, dan sepintas lalu
kelihatan berperilaku baik. Namun, sang raja tidak
yakin bahwa putra sulungnya yang suka berpesta
akan memerintah secara adil sehingga rakyat akan
bahagia. Begitu pula dengan putra keduanya.
Walaupun pandai berulah senjata, namun kebiasaannya
mabuk-mabukan dan berjudi merupakan
ancaman besar bagi kelangsungan pemerintahan
yang harus didasari kejernihan pikiran dan hati
tenang. Anak yang ketiga dan keempat adalah
perempuan. Paras cantik, kelakuan lembut, mumpuni
dalam mengatur urusan rumah tangga ataupun
penerimaan tamu. Keduanya juga sudah
diajari dasar-dasar menggunakan senjata seperlunya
jika bahaya datang, mereka tahu mempertahankan
diri atau keraton bahkan kerajaan.
Pendek kata, sang raja kebingungan memilih
di antara empat anak tersebut. Maka agar tidak
menimbulkan kecemburuan, ayah itu menyuruh
anak-anaknya mengembara selama kurun waktu
tertentu. Selain mereka harus mendapatkan pasangan
masing-masing juga harus pulang membawa
tambahan pengetahuan yang bisa digunakan
untuk masyarakatnya.
Ayah kami bukan seorang raja, ibuku bukan
keturunan bangsawan. Tapi mereka telah membangun
satu usaha kecil dari cucuran keringatnya.
Sebagai modal, ayahku tidak berutang atau
meminjam, melainkan menjual sepedanya. Dari
memotong, menjahit dan menjual sendiri sandalsandal
buatannya dari pintu ke pintu calon pembeli,
sampai kemudian mempunyai toko. Lalu
ibuku menambahkan membikin tas-tas bagor dan
aneka anyaman dari bahan alami yang dikeringkan.
Selang beberapa waktu, kombinasi dibuat untuk
memanfaatkan limbah kulit asli atau sintetis.
Ketika akan menambah karyawan, aku baru
lulus SMA. Kukatakan mengapa tidak mempekerjakan
orang-orang sekampung saja di rumah
mereka masing-masing. Mereka diberi bahan
sebagai pinjaman. Jika hasilnya bagus, kami beli.
Setelah diperbaiki atau disempurnakan guna
menjaga mutu dan nama baik, kami jual di toko.
Itulah asal mula mengapa di kawasan tempat kami
tinggal, sekarang terdapat begitu banyak perajin
sandal, sepatu, tas yang terbuat dari berbagai
bahan. Beberapa tetangga bahkan mencoba pula
mendirikan toko. Tapi hingga sekarang hanya produk
kami yang berhasil memiliki tingkat penjualan
yang memadai, bahkan melayani pesanan dari
luar negeri.
Kakakku sulung sudah berkeluarga sejak aku
duduk di SD. Dia bekerja sebagai sopir. Kuliahnya
berhenti sebelum tahun pertama selesai. Kakak
kedua lebih berhasil menjadi penjual makanan
matangan. Suaminya adalah tukang becak. Setelah
selesai salat asar, setiap sore dia mendorong
gerobak ke pinggir jalan, ditinggal di sana. Lalu
iparku balik lagi mengusung dagangan bersama
istrinya. Dengan cara demikian, sekarang dua anak
mereka bersekolah di akademi akuntansi dan informatika,
yang seorang di kelas tertinggi SMA.
Saudara kandung yang tepat di atasku tidak lulus
SMP bekerja di bengkel. Bisa dikatakan hidupnya
berhasil karena mampu membeli tiga kendaraan
yang disewakan sebagai angkutan. Kadang terdengar
berita dia ditipu sopir yang dipekerjakannya.
Tapi di depan keluarga, dia tampak tenang
saja, selalu mampu mengatasi semua kesulitannya.
Aku sendiri, mungkin karena aku anak perempuan
bungsu, maka aku lebih senang bermain
dengan limbah apa pun yang terdapat di lantai di
ruangan menjahit dan menggunting aneka bahan.
Ketika duduk di TK, aku memberikan sebuah
bantalan. Tempat mencocok jarum berbentuk ikan
kepada ibuku. Itu adalah hadiah ulang tahunnya.
Sampai sekarang benda tersebut masih digunakan,
mendapat tempat di kotak jahitan ibu kami.
Untuk seterusnya, sekolahku aman-aman saja
hingga aku mampu menyelesaikan kuliah dan
menggondol gelar sarjana ekonomi. Aku sadar
bahwa keluargaku sangat bangga dengan pencapaian
gelar tersebut. Apalagi di masa itu belum
marak didesuskan orang tentang pembelian ijazah
ataupun gelar.
Setelah berunding sekeluarga, kami empat
bersaudara dikirim ke seluruh penjuru tanah air
untuk mencari kemungkinan pengembangan, baik
kemitraan maupun kerja sama di bidang niaga
kerajinan. Masing-masing diberi sejumlah uang,
dan kami disuruh memilih sendiri ke mana tujuan
kami. Setiap hari kami harus mencatat semua
pengeluaran secara teliti. Seorang dari antara kami
yang dianggap paling berhasil akan menerima
tanggung jawab tiga toko bersama atelir perajinnya
sekalian.
Ternyata kakak-kakakku tidak menggerutu
menerima tugas itu. Mereka mempunyai hubungan
atau teman bekas sekolah yang tersebar di
berbagai kota di pulau Jawa, Kalimantan, dan
Sumatra. Bahkan kakakku perempuan, yang
kelihatannya tidak keluar dari lingkungannya,
langsung berkata, akan ke Bandar Lampung,
mencari kemungkinan kerja sama dengan sebuah
toko di sana. Rupanya hanya diriku yang bingung
ke mana harus pergi. Aku tidak begitu pandai bergaul.
Bekas teman-teman sekolah atau kuliah tidak
ada yang bisa kuandalkan. Selain yang tinggal sekota,
tidak kuketahui di mana mereka lainnya
menetap.
Setelah berpuasa dan berdoa menurut ajaran
orang tua, aku menetapkan tujuan: Bali. Orang
tuaku hanya diam mendengar itu. Kakak-kakakku
tertawa atau tersenyum tanpa kuketahui apa
maknanya. Di waktu itu, pariwisata sayup-sayup
menunjukkan pengembangannya. Walaupun di
Bali dibikin aneka kerajinan sebagai benda kenangkenangan,
apa salahnya bila kita kirim pula hasil
dari Bantul. Siapa tahu dengan keberuntungan dan
nasib baik, aku akan menemukan mitra sejajar
yang biasa diajak bekerja sama dalam pemasaran
produk kami.
Wahyu Ilahi ternyata tidak dapat diabaikan.
Aku kembali dari perjalananku dua pekan kemudian
bersama seorang pemuda. Juga kemungkinan dapat
mengirim ratusan, mungkin ribuan benda dagangan
ke berbagai kios dan toko di pantai Kuta
serta sebuah toko eksklusif di Ubud. Setelah masa
tunangan beberapa bulan, aku dinikahi seorang
anak sebuah restoran di Sanur. Menurut adat, lebih
dulu aku diangkat menjadi anak seorang pegawai
rumah makan itu yang berkasta sudra supaya
dapat kawin dengan upacara Hindu Bali.
Kulewati berbagai cobaan yang menggoyahkan
keteguhan batinku. Terus terang, gelombang
dan alun yang melanda bahtera kehidupanku
nyaris meluluhlantahkan ketegaranku. Aku
mensyukuri “kebebasan” ibuku sebagai perempuan
Jawa dalam mengatur rutinitas keseharian,
namun tidak membosankan. Yang dinamakan
aturan ini-itu sehubungan dengan tradisi Jawa
tidak terlalu mengekang atau menyita waktu.
Terjun bebas tanpa paksaan ke lingkungan
tradisi dan rutinitas sehari-hari di Bali, aku hampir
kehabisan napas karena kekurangan waktu atau
ruang gerak. Semua serba upacara. Semua serba
penyiapan sesaji. Memang benar aku belajar
banyak. Aku menyukai serbaneka ajaran menganyam
dan mendekor sesaji. Tapi aku tidak kuasa
hadir di dunia ini hanya untuk melakukan hal-hal
tersebut. Tekanan lebih-lebih datang dari mertuaku
perempuan. Dia menginginkan aku menggantikan
kedudukannya kelak sebagai tetua wanita
dalam keluarga. Padahal ada dua menantu perempuan
lain. Semua impitan keharusan untuk
melaksanakan upacara itu membenihkan kerikilkerikil
di dada, hingga pada akhirnya membentuk
satu bongkahan yang mengimpit pernapasanku.
Untunglah aku masih sadar bahwa aku sedang
melayang-layang di ambang stres. Lalu kuputuskan
untuk bertindak demi kesehatan rohani dan
keutuhan kepribadianku sendiri.
Aku purik2). Satu anak perempuan yang sudah
sekolah kutinggal, seorang balita dan bayi kubawa.
Satu bulan penuh aku berkeras-kepala tidak pulang
ke rumah tanggaku.
Akhirnya, suamiku menjemput dan berkata
bahwa ibunya menyetujui semua keinginanku
untuk kurang berperan sebagai penyelenggara
aneka keperluan tradisi dan upacara. Kukatakan
bahwa tidak ada gunanya sekolahku bertahuntahun
jika akhirnya hanya mengurusi upacara-upacara
yang sebenarnya dapat diserahkan kepada
orang lain. Bukannya aku merendahkan ritual tersebut!
Waktuku memang untuk keluarga, namun
aku juga mempunyai tanggung jawab perusahaan
yang di masa itu sudah diserahkan secara total
kepadaku oleh orang tua dan kakak-kakakku. Setiap
akhir tahun, mereka tinggal menerima
bagiannya saja.
Pengalaman itu bisa dikatakan ringan jika
didengar. Tapi bagi yang menjalani merupakan
tahun-tahun penuh tekanan. Sebab, yang disebut
upacara di Bali nyaris terjadi setiap hari setiap
saat. Sedangkan perempuan adalah tiang utama
bagi pelaksanaan tradisi sebab merekalah yang
menyiapkan serba uborampe3)-nya.
Kini di usia yang mendekati 60 tahun, aku
mendapat ajaran lain, yakni bagaimana mengendalikan
perasaan sebagai seorang nenek. Aku
tidak dihadapkan pada cucuku, melainkan kepada
ibu si cucu itu. Aku terkejut. Mentalku tidak siap
untuk itu. Di sekolah dan perguruan tinggi aku tidak
pernah mendapat pelajaran bagaimana menjadi
seorang nenek.
Anak sulungku yang biasanya tidak membantah
atau mengguruiku di waktu-waktu sebelumnya,
kini setelah tinggal di rumahnya sendiri, dapat
dikatakan dia menggelincir lepas dari sela-sela jari
tanganku. Sewaktu dia melahirkan, aku diminta
datang untuk menemani di klinik, lalu mendampingi
sebagai ibu baru di rumahnya. Karena suaminya
orang Jawa, selamatan yang kujalankan adalah
brokohan. Secara sederhana kami mengirim
nasi serta sayuran bumbu urap dengan krupuk
dan gereh4) layur ke lingkungan dan tetangga maupun
teman dekat.
Selama selapan5) bisa dikatakan beberapa kali
aku mondar-mandir memantau keadaan anakku
dan bayinya. Tak tersirat gejala kepemilikannya
yang ekstrim mengenai anaknya. Tiga bulan kemudian
mereka berangkat ke Australia di mana si
suami akan meneruskan belajar. Di waktu itu pun,
belum terlihat tanda-tanda “kebengisan” anak
sulungku terhadapku.
***
Aku percaya bahwa mempunyai cucu adalah
impian semua nenek sedunia. Setelah begitu lama
tidak menggendong atau menimang bahkan
memandikan bayi, tentu saja aku ingin sekali melakukannya.
Apalagi cucu sendiri, manusia mungil
yang keluar dari rongga perut anakku perempuan
yang dulu pada waktunya juga keluar dari badanku.
Keesokan hari dari kedatanganku, setelah
mendapat berbagai indoktrinnasi mengenai aturan
dalam rumahnya, aku mendapat teguran lagi.
“Kalau mengeringkan badan Puspa tidak begitu,
Bu. Mana, biar aku saja! Ibu kan sudah
memandikan! Biar sekarang kutangani…” dengan
gerakan setengah merebut, anakku mendesakku
ke samping.
Aku diam, mencari kesibukan dengan membenahi
barang-barang ke kamar mandi akan membuang
air dari wadah.
“Sudah biarkan, Bu! Biar kukerjakan nanti! Ibu
tidak tahu tempat benda-benda …!” dari jauh anakku
berseru menggangguku dengan “perintahnya”.
Sewaktu tiba saat menyuapi si bayi, aku tidak
mau mengalah. Sebagaimana tadi dia merebut
kain handuk dari tanganku, aku setengah memaksa
mengambil mangkuk makanan cucuku. Bayi
usia delapan bulan sudah diberi makanan agak
ketat. Tidak seperti ibunya dulu diberi makan
pisang dicampur nasi lembek, cucuku diberi makanan
spesial untuk bayi yang dijual di toko-toko
tertentu.
“Didudukkan yang tegak lho, Bu. Jangan
sembarangan menyuapkannya! Nanti dia
tersedak!”
Nyaris kujawab: aku sudah berpengalaman
menyuap bayi-bayi lain termasuk kamu. Tapi aku
berhasil mendinginkan kuping berusaha mengabaikan
si ibu sekaligus anak yang maunya sok paling
tahu itu. Selesai memberi makan, ketika ibunya
mandi, kumanfaatkan waktu bersama cucuku sebaik
mungkin untuk mengeluarkan udara dari
perutnya, dia kudekap ke arah bahu dalam posisi
tegak. Aku berjalan ke sana kemari, singgah ke
depan jendela besar yang memantulkan bayangan
kami berdua di kacanya. Walaupun yang tampak
hanya bayangan punggung si bayi dan wajahku,
aku puas melihat diriku memeluk cucu. Kuajak dia
berbicara, kuayun-ayunkan tubuhku. Dan sewaktu
sendawa sudah keluar, kugendong dia dengan
cara semestinya, melekat ke dada menghadap ke
depan sambil kami berpandangan. Aku terus
mengucapkan kata-kata apa saja agar dia mendengar
suaraku, agar menerka nadaku bahwa aku
ingin bersahabat dengan dia.
Karena menerima sambutan anakku yang
tidak menyenangkan itu, aku ingin mempersingkat
kunjunganku. Di saat aku sedang menimbang-nimbang
keputusanku, kakakku menelepon memberi
tahu bahwa ibu kami masuk rumah sakit. Ini adalah
kedua kalinya selama sebulan ibu harus diopname.
Jadi akan segera pulang.
Barangkali memang harus demikian. Setiap
orang tua menganggap dirinya paling tahu, yang
paling “kuasa” menentukan segalanya, padahal
nyatanya masih ada yang lebih kuasa lagi, yaitu
Tuhan. Jika sekarang anakku mengira dia berhak
melarangku berbuat sesuatu terhadap anaknya,
cucuku, mungkin dia benar. Lingkungannya telah
menempanya bersikap begitu. Aku hanya seorang
nenek, sedangkan dia adalah ibu bagi anaknya.
Pengalaman ini harus kucermati sebagai satu
pelajaran guna menyambut kelahiran cucu-cucuku
lainnya. Untuk kesekian kalinya, kunyatakan bahwa
belajar tidak ada batasan waktu atau usia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar