Sabtu, 14 Januari 2012

Kepada Yang Terhormat

Surat beramplop putih agak kekuningan itu diantar bersama
dengan setumpuk surat-surat lainnya. Terselip, terhimpit, dan terjepit
surat-surat dinas untuk pak Lurah. Tak ada yang istimewa dari surat
itu. Lihat saja warna amplopnya yang putih sudah agak kekuningan.
Pasti surat itu sudah terlampau lama ditumpuk di kantor pos. Juga
prangko yang tertempel di sudut kanannya, sudah hampir terkelupas
dan tidak fashionable. Surat beramplop putih agak kekuningan itu,
kemudian jatuh kepada sekretaris kelurahan. Wanita muda dan cantik
dengan seragam pegawai negeri itu lantas memeriksa satu persatu
surat-surat. Memisahkannya, menurut penting atau tidaknya suratsurat
itu untuk segera diketahui pak Lurah.
Tangannya begitu cekatan, ”Dari Parmin di Desa Timbul,”
bibirnya bergumam pelan.
Wuzzz .... Surat itu melayang ke keranjang sampah di dekat
kakinya, bersama surat-surat lain yang sudah terlebih dahulu
mendiaminya.
”Dari ....???” Wanita itu membalik-balik surat beramplop putih
agak kekuningan yang ada di jarinya. Matanya sibuk mencari sesuatu
ke setiap sudut amplop merek AA itu. Rasa penasaran tergambar
jelas di wajahnya. Dibolak-baliknya surat itu beberapa kali, tetapi
tak dijumpainya tertulis nama pengirim.
”Dasar usil, ngirimi surat kaleng, kok ke kelurahan, ke presiden
kek. Biar di-tin-dak-lan-juti,” katanya mengeja kata terakhir.
”Tapi ....” sekretaris kelurahan itu jadi terkejut ketika memerhatikan
tujuan surat itu.
”Kepada Yang Terhormat:,” dia bergumam membaca tulisan
yang ada di bagian depan surat beramplop putih agak kekuningan
itu. Tak ada lagi tulisan lain selain itu. Wah ini surat misterius amat,
batin wanita itu. Mungkin buat pak Lurah, wanita itu berkata dalam
hati. Tanpa pikir panjang lagi, surat itu diletakkannya dengan baikbaik
di atas meja, bersama surat-surat penting lain untuk pak Lurah.
Menikmati siaran HBO dari televisi kabel, sambil ditemani
sebatang rokok Marlboro, pak Lurah sibuk membaca surat-surat
buatnya yang diantar sekretaris kelurahan. Kursinya yang berukuran
big size seperti tak mampu menampung tubuhnya yang tambun. Di
tangannya kini ada surat dari pak Gubernur yang mengabarkan akan
berkunjung ke kelurahan ini pekan depan. Ini, sih, urusan kecil, besok
dia tinggal memerintahkan masyarakat untuk bergotong royong
membersihkan jalan dan parit-parit.
Pak Gubernur tentu akan senang karena kawasan kelurahannya
bersih dan aku tentu akan dipuji, begitu kata pak Lurah dalam hati.
Berikutnya, dengan tangan kiri dia meraih surat lain di atas meja.
Kali ini sebuah surat dari sebuah lembaga sosial yang diketuai isteri
seorang pejabat tinggi. Isinya, juga tak jauh berbeda. Mengabarkan
kedatangan mereka ke sini. Pak Lurah meraih surat berikutnya.
Keningnya lantas berkerut. Di bolak-baliknya surat beramplop putih
agak kekuningan itu. Sudah tiga kali dia membaca tujuan surat itu.
”Asihhh ....,” pak Lurah berteriak memanggil wanita sekretaris
kelurahan tadi.
”Kamu tahu surat ini untuk siapa?” diacungkannya surat
beramplop putih agak kekuningan itu, begitu Asih, sang sekretaris
kelurahan berada di depannya.
”Ini pasti surat buat pak Camat. Coba kamu baca Asih, di sini
tertulis, Kepada Yang Terhormat:. Kirim segera surat ini ke pak
Camat,” perintah pak Lurah tegas.
***
Di kantornya, pak Camat bersafari masih sibuk dengan
handphone-nya. Bicaranya tampak begitu berhati-hati. Raut
wajahnya pun menunjukkan kecemasan. Persoalannya, beberapa
proyek perintah pak Bupati belum dapat diselesaikannya. Sebenarnya
ini karena masalah ganti rugi tanah penduduk kampung di tepi kali.
Kata mereka ganti rugi itu terlalu kecil. Huh...mana ada, sih, yang
namanya ganti rugi malah untung tentu harus rugi.
”Baik, Pak. Ya ....ya, saya mengerti, Pak.”
”Akan segera saya laksanakan, Pak,” kata pak Camat mengakhiri
pembicaraannya, napasnya ditarik dalam-dalam. Matanya nanar
memandang ke seluruh ruangan. Cepat diraihnya sebotol coca cola
dingin dari kulkas di sudut ruangan. Setelah napasnya kembali teratur,
pak Camat kemudian duduk kembali di kursinya. Ringan tangannya
meraih surat-surat yang menumpuk di atas meja yang penuh dengan
tumpukan kertas di hadapannya. Matanya kemudian membaca satu
per satu surat-surat tersebut. Surat berwarna kekuningan itu lagi!
Mata pak Camat mendelik. Dibacanya beberapa kali lagi dengan
saksama tujuan surat itu. Dengan terburu-buru, hingga hampir saja
ia terjatuh dari kursi empuknya, meraih handphone di sudut meja.
”Selamat pagi, Pak. Ya, saya lagi, Pak,” ujarnya terburu-buru.
”Ada sesuatu yang penting, Pak. Sebuah surat. Saya yakin ini
pasti untuk Bapak,” pak Camat bersafari berhenti sebentar.
”Ya, segera saya antarkan, Pak,” tukasnya dengan mantap.
***
Surat beramplop putih agak kekuningan itu berada di tangan
pak Bupati. Di bolak-baliknya surat itu, ditimang-timangnya.
Otaknya bekerja keras. Dia benar-benar ragu untuk membuka surat
yang ditujukan kepada yang terhormat itu. Entah sudah berapa kali
dibacanya sebaris tulisan di bagian depan amplop itu. Mondar-mandir
dia memikirkan persoalan yang ada di tangannya itu.
”Surat itu pasti untuk, Bapak,” pak Camat bersafari mencoba
memberi pertimbangan. Langkah pak Bupati berhenti, matanya
menatap tajam pak Camat yang duduk di sofa di depannya.
”Tidak mungkin, di sini hanya tertulis, Kepada Yang Terhormat:.
Anda pasti mengerti, saya bukanlah orang yang terhormat di sini.
Masih banyak orang yang terhormat di negeri ini. Bayangkan saja,
di atas saya masih ada pak Gubernur, pak Dirjen, pak Menteri, bahkan
pak Presiden. Kamu bayangkan itu! Kedudukan saya bakal terancam
jika saya berani-beranian membaca surat untuk mereka ini,” pak
Bupati berhenti bicara sambil mengacungkan surat itu ke wajah pak
Camat.
”Tapi, Pak.....” pak Camat mencoba membantah.
”Tidak ada tapi-tapian. Sekarang juga kita menghadap pak
Gubernur. Surat ini harus segera sampai ke tangan beliau,” tukas
pak Bupati.
***
Surat beramplop putih agak kekuningan itu kembali tersuruk di
tumpukan surat-surat buat pak Gubernur. Setelah pak Camat dan
pak Bupati mengantarkan surat itu sore tadi, pak Gubernur belum
sempat membacanya.
Ketika malam turun dengan jubah-jubah kegelapannya. Saat
orang-orang bermimpi tentang sebuah negeri di atas awan. Ketika
benda-benda mati bangkit dari kebisuannya. Saat mereka bercerita
satu dan yang lainnya. Di ruangan kantor pak Gubernur yang dingin
ber-AC, setumpuk surat masih asyik ngobrol. Berisik sekali
kedengarannya. Mereka bicara dalam bahasa mereka: bahasa pesan.
Mereka bahkan tak memedulikan ketika jam diding berteriakteriak
memperingatkan untuk beranjak tidur. Surat-surat itu tetap
saja dengan santai berbagi cerita. Mereka duduk mengelilingi sebuah
surat amplop putih bersih dengan lambang burung Garuda.
Menunggunya bercerita. Dengan pongah surat itu, dengan nada
sombong, menceritakan kesaktiannya. Dia mengatakan pak Gubernur
akan mati ketakutan ketika membacanya besok pagi. Surat itu terus
bercerita hingga berjam-jam. Ketika surat berlambang Garuda itu
selesai, dilanjutkan dengan surat lain yang tak kalah hebatnya. Dia
bercerita soal keinginan lembaga penegak hukum yang ingin
memeriksa beberapa anggota dewan perwakilan daerah.
Sementara itu, surat-surat yang lain hanya bisa mendengar
terkagum-kagum. Begitu juga surat beramplop putih agak
kekuningan. Ia terdiam sambil melipat tubuhnya lebih kecil.
”Hei....” Tiba-tiba saja sebuah surat yang lain menoleh padanya.
Surat beramplop putih agak kekuningan tersebut terkejut. Ia
tersentak.
”Dari tadi kau hanya diam saja. Bisakah kamu menceritakan isi
suratmu itu?” kata surat itu.
”Ya, ya, ya....” serempak surat yang lain menjawab.
”Rupamu paling aneh dari kami semua. Lihatlah warnamu yang
sudah agak kekuningan itu. Tentunya kau sudah lama sekali
mengembara. Kabar apa yang kau bawa sebenarnya,” sahut sebuah
surat beramplop bagus yang lain. Surat beramplop putih agak
kekuningan itu betul-betul bingung. Ia jadi malu dengan keadaannya.
Tapi dipaksakan hatinya untuk bercerita. Ia sebenarnya takut untuk menceritakan
hal ini pada surat-surat yang lain. Ceritanya nanti tentu tak
akan lebih menarik dan lebih seru dibanding cerita surat yang lain.
Tetapi, setelah menarik napas dan memejamkan mata, ia pun
mulai bercerita. Bagai sebuah tirai layar mengalirlah sebuah cerita
klasik. Sebuah pergumulan antara si kuat dan si lemah. Di sebuah
desa di tepi kali yang airnya hitam. Wajah ibu-ibu hamil. Sebuah
pos ronda tempat para bapak berkumpul malam hari. Anak-anak SD
yang berlarian di gang sempit dan kumuh. Rumah-rumah reot. Bau
terasi bercampur aroma lain. Semua mengalir dari surat beramplop
putih agak kekuningan itu. Namun, tiba-tiba saja semua gambaran
itu lenyap. Lalu muncul sepatu-sepatu lars. Suara bising bulldozer.
Teriak kesakitan, dan terakhir ceceran darah.
Lalu disusul asap yang mengepul dari rumah yang sengaja
dibakar. Orang-orang yang panik. Rumah-rumah dan sebuah surau
di gang sempit itu telah rata dengan tanah. WC umum juga sudah
duluan habis dibakar. Pos ronda cuma tersisa atapnya saja. Semua
tertunduk. Mereka tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menangis. Ya,
cuma menangis. Si lemah yang berduka.
Surat beramplop putih agak kekuningan itu cepat-cepat mengakhiri
ceritanya. Napasnya terengah-engah. Sesak. Matanya berkunang-kunang
karena digenangi air mata. Sejurus kemudian setelah menenangkan
dirinya, ia memandang ke sekeliling. Betapa terkejut karena semua
surat menangis. Lalu meja pak Gubernur basah oleh air mata. Banjir
hingga meluber ke mana-mana.
Surat beramplop putih agak kekuningan itu terdiam. Ia sudah
tak bisa menangis lagi. Menjelang pagi surat-surat itu berangkulan.
Mereka berpelukan erat berbagi kedukaan. Saling menghibur.
Kemudian atas kesepakatan bersama, surat beramplop putih agak
kekuningan itu diletakkan pada tumpukan paling atas agar besok ia
yang dibaca pak Gubernur pertama kali.
Aulia Andri, Medan, awal tahun 1999
Dikutip tanpa pengubahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar