Sabtu, 14 Januari 2012

Siang di Sebuah Restoran Adieets Kaliksanan

”Mengapa kau tak bilang padaku?”
Sejenak ia terdiam. Matanya memandang gelas berisi air pesanannya, kemudian
perlahan dialihkan padaku.
”Belum saatnya...”
”Belum saatnya!!!” sengaja aku keraskan volume suaraku, tak hirau akan
pengunjung restoran lain, yang saat ini mungkin sudah membelalakkan mata padaku.
”Tenang, Rin... tenang...,” ia mencoba menjadikan dirinya sendiri sebagai sosok
yang bersahaja. Namun kini, lelaki yang duduk berseberangan denganku sudah tak
berharga sama sekali meski dasi bermerek luar itu masih tetap setia menggantung
pada leher yang tubuhnya dibalut kemeja sutra. Matanya tak lagi memandangku,
kepalanya kembali tertunduk. Bahkan untuk melanjutkan pembicaraan ini dia sudah
tak lagi mampu. Terpaksa aku yang berinisiatif.
”Jadi kapan kau akan memberi tahuku?”
Dia masih tetap diam. Perlahan ia coba mengangkat wajahnya yang harus aku
akui tetap tampan meski kuyu. Alisnya yang tebal, matanya yang tajam, hidungnya
yang sedikit melebar namun proporsional dengan lebar wajahnya. Dan aku tersadar
dari lamunanku saat ia baru saja mengambil nafas panjang dari hidung itu. Lalu
kutujukan tatapan mataku pada bibirnya, seksi tanpa kumis yang menggantung,
yang perlahan membuka...Ah!
”Aku kira kau sudah tahu sejak semula.”
”Apa??!!” aku berteriak dalam hati, lamunanku tentang dia masih bermain dalam
otak. Di dalam imajiku, teriakan tadi pastilah akan memecahkan seluruh kaca
restoran ini. Karena jawabanmu adalah kalimat jawab yang buruk sekali, Don. Tentu
kau tahu itu, aku masih membatin.
Dan inilah kalimat yang keluar dari mulutku.
”Don, tampaknya kau tidak mengenalku sama sekali. Jadi, tolong! Dengarkan
baik-baik perkataanku ini...”, aku ambil nafas sebentar,” aku bukanlah perempuan
murahan yang mau dijadikan gundik oleh seorang lelaki yang telah beristri, apalagi
beranak! Simpan kalimat tadi baik-baik di dalam memorimu!” Aha, akal pikiran dan
emosi hatiku bekerja sama dengan sempurna. Siapa bilang perempuan hanya bisa
bermain hati tanpa rasio. Sebetulnya, hati siapa yang takkan terpincut oleh
kegantengan Donny, pemuda tengah baya yang sedang ranum-ranumnya? Namun
pikiranku sejak melangkah keluar dari rumah adalah memutuskan hubungan kami.
Ya, kami harus berpisah. Maka segera kuucapkan.
”Selamat siang!” aku segera beranjak untuk pergi.
”Jangan pergi dulu, Rin! Aku mohon!” ia memegang pergelangan tanganku.
Erat, namun tak bisa aku samakan saat ia pertama kali menjabat tanganku, erat, di
malam kami berkenalan. Juga tak, kepada pelukannya, erat, yang ia berikan padaku
di malam itu juga saat kami berdansa. Ah, aku hapus semua bayangan itu.
Tapi aku mengalah, tetap duduk di kursi yang sebetulnya sudah tidak
menerimaku lagi.
”Agaknya, giliranku untuk bicara banyak....”
Ia coba berkalimat hanya untuk kembali terdiam dan ini membuatku bosan.
”Sudahlah, Don. Lebih baik kita berpisah sekarang. Sebelum kau membuat
keputusan yang bodoh dan sebelum aku terjerumus semakin dalam!” Gila, tak
kusangka aku bisa berbicara begitu bijak.
”Tidak, tidak, Rin. Aku harus bicara padamu sekarang. Aku jatuh cinta padamu.
Betul, Rin, aku cinta kepadamu...”
Aku biarkan diriku tenang dan kulihat tatapannya yang tajam, dalam, yang aku
ingat betul, telah membuatku jatuh di malam pertama aku bertemu. Tatapan yang
kini, entah karena apa, diiringi dengan genangan air mata.
”Kau tak perlu melakukan ini, Don! Aku belum hamil, kau tidak perlu susahsusah
mengatakan itu hanya untuk membuktikan bahwa kau adalah lelaki!” aku
masih sanggup berkata tenang.
”Ini kali aku berkata jujur, Rin. Hubungan dengan istriku sudah lama tak menentu.
Meski kami serumah namun kami sudah tak sepaham..”
”Oh, ya!” aku langsung membalas. Jika ini adalah pertandingan bulu tangkis
maka inilah satu-satunya partai tunggal campuran, antara lelaki dan perempuan.
Dan sang lelaki baru saja memukul shuttle cock melayang di udara, memberi
kesempatan pada perempuan untuk sebuah smash. ”Kau dan istrimu sudah tak
sepaham, sehingga sebulan yang lalu kalian memutuskan untuk berlibur ke
Tawangmangu saat sebelumnya kau katakan padaku bahwa kau mempunyai tugas
penting ke Singapura. Kau dan istrimu sudah tak sepaham sehingga seminggu
setelahnya kau bergandengan tangan mesra di supermarket. Dan aku masih ingat,
Don. Masih jelas di dalam ingatanku bahwa saat itu kau menjanjikan sebuah makan
malam yang romantis. Dan, dan, masih juga kuingat saat kau bilang bahwa kau
sedang..sedang..ah, ya..sedang menjamu tamu kantor saat kau menunggu kedua
anakmu bermain, duduk di sudut food court berbincang mesra dengan istrimu. Jiih,
aku lihat itu semua, Don! Dengan mata kepalaku sendiri! Apakah itu yang kau
sebut dengan tak sepaham lagi, Don! Iya! Ah, tentu kau tak tahu betapa sakitnya
melihat itu semua..,” smash itu sangat tajam dan masuk di bidang yang kosong,
tak bisa dijangkau oleh sang lelaki. Ya, the game si over!
Aku terpaksa menutup kedua mataku dengan tangan mencegah air mata yang
ingin keluar. Barangkali sakit yang terdalam yang pernah dirasakan seorang manusia
adalah tak bisa memiliki apa yang mereka cinta.
”Rin, maafkan aku, Rin...!”
”Bagus, Don. Sangat bagus sekali. Sekarang kau menyesali semua
perbuatanmu terhadapku. Selamat tinggal, Don! Sekali lagi aku tegaskan, aku bukan
perempuan yang suka mengganggu perkawinan orang lain!” aku berdiri dari bangku
yang terasa menusuk pantatku sejak tadi, kemudian bergegas tinggalkan restoran
yang belum pernah aku masuki sebelumnya, dan sepertinya tak bakal aku masuki
lagi.
Kebetulan sebuah taksi menurunkan penumpang di hadapanku, tepat di depan
pintu masuk dan keluar, langsung saja aku naik.
”Rumah, Pak!” kataku sambil duduk.
Kulihat sopir taksi itu memandang heran kepadaku. Aku langsung menunduk.
”Rumahnya di mana, Mbak? Kan saya tidak tahu...!” sopir taksi itu
menyadarkanku.
”Ah, ya, maaf, Pak. Perumahan Candi Baru.” Dasar bodoh aku ini, pikirku.
”Nah, kalau itu saya tahu.”
Taksi berangkat, aku meneguhkan hati untuk tak menengok ke arah restoran
itu. Tidak. Aku tak mau tahu apa yang sedang dilakukan Donny sekarang, esok
dan selamanya. Tiba-tiba nada dering HP-ku berbunyi dan nama Donny Luv
terpampang di layar. Segera saja aku sahut.
”Hallo...”
”Hallo!” aku ulangi.
..sunyi..tak ada suara dari Donny, bahkan tak pula desah nafasnya.
”Don!” aku coba memanggil.
”Hallo, Don!”
”Rin..,” tampak lemah suaranya.
”Don..”
”Don..,” ingin aku memanggil namanya ribuan kali.
”Don..,” namun akal pikirku tak membolehkannya.
Sepi kembali dan kini aku yakin takkan ada lagi suara yang terdengar darinya,
lalu sambungan terputus. Kemudian dengan keyakinanku, entah di bawah perintah
hati atau pikiran, aku hapus nomornya dalam phone book.
”Kenapa, Mbak?” sopir taksi itu tampak perhatian.
”Ah, nggak pa-pa,” aku coba menjawab.
”Bisa nyalakan radio, Pak?” suaraku hampir terpendam nafas tangis.
”Bisa, bisa, Mbak..”
Terdengar lalu suara penyiar yang kukenal dan diikuti sebuah lagu.
”Gelombang berapa, Mbak?” sopir itu bertanya sopan.
”Ah, ini saja, Pak..,” kini separuh sudah suaraku tertelan oleh tangis, “tidak
usah dipindah!”
’Januari’ oleh Glenn Fredly terdengar bersama air mataku yang mengalir.
Semarang, Januari 2004
Sumber: Horison Januari 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar