Sabtu, 14 Januari 2012

Labirin Cahaya Detti Febrina

Rona-rona lembut menyapa. Merah muda, biru,
hijau pupus, kuning yang teduh, ungu lembut.
Indah semata membuai mata dan jiwa. Kurasakan
jasad ini melayang-layang. Lambat, namun terus
beranjak sesenti demi sesenti. Seakan ada energi
yang menarik-narik untuk mendekat.
Jangan-jangan, aku tak lagi berpijak di bumi.
Jangan-jangan. … Tempat apa ini gerangan? Begitu
damai dan menenangkan. Lorongnya panjang
berkelok-kelok. Cahaya berpendar dari dinding,
langit-langit bahkan lantai yang tak tersentuh oleh
kaki telanjangku. Menentramkan, bak tersimpan
beribu neon di baliknya. Benderang namun tak
menyilaukan.
Sumber: www.polewalimandarkab.go.
Gambar: Ada beragam peristiwa yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari.
48 Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA/MA Kelas X
Lalu ketentraman menyergap sekujur pori.
Perlahan menyelusup hingga sumsum dan jantung.
Bagaimana bisa kujelaskan keindahannya. Sungguh
aneh, aku tak merasakan sebersit pun rasa takut di
tempat seasing ini. Aku masih bergerak melayanglayang.
Tak ada ke siapa pun, maka
kucoba bersuara, “Hei!” Entah mengapa yang
terdengar hanya desau. Aku coba teriak. “Di mana
aku berada?!” Entah mengapa yang tertangkap
telinga hanya bisikan.
Di sebuah kelok, pendarnya menguat. Masih
menentramkan. Dan, hatiku tercekat saat paras indah
itu menghadang. Senyumnya begitu menawan.
Alhamdulillah, akhirnya, kujumpa makhluk lain di
labirin ini. Manusiakah ia, atau bidadari surga?
Bidadari itu tersenyum. Binar matanya bagai kejora.
Wajahnya begitu putih dan teduh. tercium wangi
seribu bunga ketika tangannya merengkuh badan
gemetarku. “Siapa kau?”
Bibir nan serupa kelopak mawar itu bergerak.
Namun tiada terdengar suara. Lalu kurasakan
bibirku bergerak mengikuti gerak bibirnya, “A-isyah?”
Mataku menghangat. Bulir beningnya mengalir tak
tertahankan.“Aisyah radhiallahu anha?”
Dia mengangguk. “Aiyah kekasih Baginda Muham-
mad? Istri Rasulullah?”Dia mengangguk lagi.
Masih tersenyum. Bulir bening dari mataku menetes
perlahan saat ia lepaskan rengkuhannya. Lalu tangan
kanannya mengembang seperti mempersilakanku
melanjutkan perjalanan. Aku kembali beringsut,
melayang sesenti demi sesenti tanpa sekejap pun
kulepaskan pandang darinya. Bahagia bertalu-talu
menyesaki ruang hati. “Ibunda Aisyah…,” suaraku
kembali hanya berupa lirih angin. Sampai akhirnya
senyum indah itu hilang ditelan kelokan.
Pendar cahaya masih membimbingku. Masih
menentramkan. Lalu kurasakan lorong warna-warni
lembut berakhir di sebuah ruangan yang dari dinding
ke dindingnya berjarak ribuan meter. Mungkinkah
ini akhir dari labirin penuh cahaya?
Aku tiba di hadapan beberapa pintu raksasa yang
juga berpendar cahaya. Dan aneh, semua berbisik,
“Bukalah… bukalah… bukalah….” Bulir-bulir
bening kian deras mengalir. Lalu sebuah pintu
terbuka sebelum sempat tersentuh tangan. Lagilagi
kekuatan asing menghisapku untuk perlahan
mendekat ke tengah pendar cahaya putih yang
bergelinyaran dari segala penjuru. Ruang bagai
tak berbatas. Semua hanya cahaya. Cahaya-cahaya
warna putih yang lembut dan bertumpuk-tumpuk.
Belulangku melemas bagai tersiram asam sulfat,
ketika pendar-pendar cahaya itu perlahan kian
menampakkan bentuk. Melebihi perjumpaan dengan
Ibunda Aisyah, kali ini dadaku begitu sesak oleh
kebahagiaan. Kebahagiaan yang bahkan menjalar
mengikuti aliran darah dan terus mengalir tanpa
henti.
Oh, sungguh sempurna keindahan ini. Mas Awan,
andai kau di sini. Subhanallah, Mas, di sini indah
sekali. Terasa tubuhku bagai dipeluk jutaan bintang.
Aku merintih, “Allah, Engkaukah itu, Allah?” Air
mataku tak tertahankan. Subhanallah. Maha Suci
Allah yang mengizinkanku mendapati perjalanan
ini. Dan, semua cahaya yang memenuhi ruang
dan waktu bagai berebut memelukku.“Ya, Allah,
ampuni aku. Ampuni aku,” rintihku tanpa henti.
Segenap khilaf dan kesalahan berkelebatan di
pelupuk mataku yang basah. Cahaya-cahaya masih
bersiar-siur. Cahaya di atas segala rupa cahaya.
“Ampuni seluruh dosaku, Ya Robb.” Kakiku lemas.
Aku ingin bersimpuh, namun tak jua kumampu
melakukan apapun. Aku hanya terpaku seraya
merintih, memohon, menghiba. Lalu, di bawah tahta
bercahaya itu, sesosok tegap dan rupawan perlahan
menampakkan diri. Sambil mengulurkan tangan,
senyumnya menyongsongku. “Kau…,” suaraku
nyaris hilang. Wajah rupawan itu bagai membelaiku.
Suaranya indah melebihi suara terindah yang pernah
kudengar. “Ya, ibundaku sayang.” Aku bergerak
ingin meraih tangannya, namun tak terraih. “Aku
putramu yang belum sempat kau lahirkan ke dunia.”
Tangisku pecah menjadi isakan hebat. Belum habis
takjubku, tiba-tiba kekuatan itu kurasakan tak lagi
Bab 5 Peristiwa 49
Inikah sebentuk kehidupan yang kutandai, sesuai
perkiraan dokter, seharusnya lahir enam bulan
yang akan datang? Lalu, dunia serasa berguncang.
Setelah itu menyusul luruh gumpalan merah segar
yang kelima, keenam, hingga entah yang keberapa.
Darah segar mengucur-ngucur di sela-sela paha. Mas
Awan menangkap tubuhku yang lunglai, selebihnya
gelap. Selanjutnya, yang kuingat hanya perjalanan
dalam labirin cahaya.
menghisap. Perlahan ia malah mendorongku keluar
menuju pintu raksasa. “Ya Allah, jangan tinggalkan
aku.” Namun, cahaya itu kurasakan kian jauh.
Wajah rupawan itu juga perlahan memudar di balik
lapisan-lapisan kabut. “Peluk aku, ya Allah. Jangan
tinggalkan aku.”
Aku tersedu-sedu saat lorong bercahaya warna merah
muda, biru, hijau, kuning lembut menyambutku
kembali. Kelokan demi kelokan membawa tangisku
bagai gerimis pagi. Aku merasa tercerabut. Masih
melayang-layang. Bibirku hanya menyebut Allah
dan Allah.
Diselimuti kabut, eternit putih serta dua lampu neon
di kanan-kiri menyergap pandangan. Samar-samar
kulihat gorden hijau, juga tercium bau obat-obatan.
Apakah benar itu suara sedu sedan? Kurasakan
kemudian genggaman erat di jemariku yang masih
lemas. Dan, suara yang kukenal itu. “Alhamdulillah, ”
bisiknya. Tanganku perlahan dibimbing ke dadanya.
Genggamannya makin erat. Masih samar, kudapati
wajah tirus yang begitu kukenal itu, Mas Awan,
suamiku. “Semua sudah selesai, sayang. Kuretnya
sudah selesai,” bisiknya lagi. Kulihat ia berusaha
sekuat tenaga menyembunyikan kesedihan. Namun,
sungguh kau pemain sandiwara yang buruk, Mas.
Segalanya kemudian berkumpul menjadi potonganpotongan
peristiwa. Saat tepat tengah malam, saat
gumpalan merah segar pertama jatuh di lantai kamar
mandi. Lalu gumpalan merah segar yang kedua,
ketiga, keempat, dan seterusnya.
Dan, satu gumpal kecil seukuran jempol kaki
kemudian begitu menyita perhatianku. Gumpal kecil
yang selanjutnya kuraih dengan tangan bergetar.
Ia tampak menonjol, karena berwarna putih di
antara gumpalan-gumpalan segar merah darah. Ada
sepasang mata berbentuk bintik di kanan dan kiri.
Sepasang bakal tangan dan sepasang bakal kaki,
serta seutas tali pusar yang juga berwarna putih.
“Kamu mengigau menyebut Allah dan surga.”
Kurasakan air mataku masih meleleh.
“Benarkah?” Berulangkali ia menyeka air di pipiku.
Dan berulangkali pula air itu menganak sungai.
“Belum saatnya kamu berjumpa surga, Jeng,” katakata
Mas Awan kudengar tercekat di tenggorokan.
“Ina dan Rayya masih butuh ibunya.” Ina dan
Rayya? Aku masih menangis. Namun, kali ini
terbayang wajah kedua bidadari kecil itu. Ya, aku
memang kehilangan sesuatu yang telah melekat
selama tiga bulan dalam rahimku. Tapi kau benar,
Mas. Masih ada dua makhluk Allah yang hidup dan
sehat yang butuh tanggung jawabku.
Masih nanar pandanganku menatap lelaki yang
tengah sibuk mengusapi air di sudut matanya itu.
Mas Awan, suamiku, kau juga amanahku.
Bandar Lampung, Januari 2008.
Sumber: Republika, Minggu, 09 Maret 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar