Sabtu, 14 Januari 2012

Mbah Danu

Wajah kasar-kasar seperti tengkorak, kulitnya seperti belulang,
pipinya selalu menonjol oleh susur tembakau yang ada dalam
mulutnya, jalannya tegak seperti maharani yang angkuh. Di Rembang
sekitar tiga puluhan ia lebih terkenal daripada Pendeta Osborn pada
pertengahan tahun 1954 di Jakarta karena prestasinya menyembuhkan
orang-orang sakit secara gaib. Ditinjau dari sudut tertentu cara
pengobatan Mbah Danu adalah rasional. Titik pangkalnya adalah suatu
anggapan yang logis. Mbah Danu menegaskan, bahwa orang yang sakit
”didiami” oleh roh-roh yang jahat, karena itu cara satu-satunya untuk
menyembuhkan dengan menghalaukan makhluk yang merugikan
kesehatan itu. Si Nah, gadis pelayan pada keluarga Pak Jaksa (pensiun)
telah sebulan sakit demam. Keadaannya makin lama makin payah.
Matanya kelihatan putihnya saja, mulutnya berbuih dan ia
mengeluarkan bunyi-bunyi binatang, kadang-kadang meringkik seperti
kuda, kadang-kadang menyalak, mengeong, berkaok-kaok, dan kalau
sudah mengaum, anak-anak dan perempuan-perempuan serumah dan
tetangga-tetangga yang bertandang semua lari terbirit-birit seolah-olah
percaya, bahwa satu saat kemudian Nah akan menjelma jadi macan
gadungan.
Menurut kabar-kabar yang cepatnya tersiar hampir seperti berita
radio, Mbah Danu sedang turne. Rutenya adalah Lasem, Pamotan,
Jatirogo, Bojonegoro, Tuban, Padang, Cepu, Blora, dan kembali ke
Rembang. Kini ia disinyalir sudah ada di Blora, jadi sudah hampir
pulang. Dan benar, ketika Nah mengeong-ngeong seperti kucing
kasmaran, Mbah Danu datang membawa koper besi yang sama
cantiknya dengan yang punya. Jauh sambil membaringkan dan
menyelimuti Nah dengan penuh kasih sayang. Sebentar ia memijit-mijit
kepala Nah, kemudian memercikkan ludah sedikit dari mulutnya pada
dahi si sakit. Setelah itu ia berdiri dan keluar untuk meminum kopinya.
Ketika Mr. Salyo Kunto, salah seorang menantu Pak Jaksa bersama
istrinya mengunjungi mertuanya, beberapa hari sesudah kedatangannya,
Nyonya Salyo sakit kepala dan pegal-pegal tubuhnya. Bu Jaksa,
sesuai dengan tradisi, segera menyuruh panggil Mbah Danu.
”O, ada sedikit angin jahat di dalam tubuh Raden Ayu,” kata Mbah
Danu setelah mendengarkan gejala-gejala penyakit dari mulut Nyonya
Salyo sendiri. ”Coba buka baju saja; akan saya usir.” Dan Mbah Danu
mulai berpraktek. Pertama kali ibu jarinya kedua-duanya ditekannya
ke dalam daging perut Nyonya Salyo, sehingga terbenam sama sekali
dan si pasien mencetuskan bunyi yang sukar dilukiskan. Kemudian
perut Nyonya Salyo ditekannya dengan kedua telapak tangan, sehingga
angin keluar dari bawah dengan bunyi meletup. Setelah itu, punggung
dan tengkuk mendapat giliran, dan dengan lega Nyonya Salyo
bersendawa. Kemudian Mbah Danu melakukan kombinasi kedua
pijetan itu, sehingga angin berlomba-lomba keluar dari atas dan dari
bawah dengan berletusan, justru ketika itu Mr. Salyo masuk ke kamar
dari jalan-jalan ke tepi pantai. Dengan keras Mbah Danu diperintahkan
keluar dari kamar seperti Mbah Danu mengusir setan-setan dari tubuh
orang sakit. Kemudian istrinya dimarahinya. ”Engkau tahu bukan,
bahwa pijetan itu bisa merusakkan rahim?” Sebagai akibat insiden itu,
Mbah Danu tidak diizinkan menginjak lantai rumah itu kalau menantu
akademikus Pak Jaksa itu datang. Suatu kekalahan bagi Mbah Danu.
Untung hal itu terjadi paling kerap hanya dua kali dalam setahun. Pada
waktu-waktu yang lainnya kedaulatan Mbah Danu tetap utuh. Clash
kedua antara Mbah Danu dan Mr. Salyo, meskipun tak langsung
berhadap-hadapan terjadi ketika Mbok Rah, pelayan Pak Jaksa yang
setengah umur, sakit keras justru ketika menantu Pak Jaksa yang
berpendidikan tinggi itu berkunjung ke Rembang. Pak Jaksa dan Bu
Jaksa tanpa pikir panjang segera menyuruh panggil Mbah Danu ketika
Mbok Rah mulai mengigau; sedangkan Mr. Salyo dengan penuh
pertimbangan meminta datang Dokter Umar Chattab. Sangat kebetulan
Dokter Umar Chattab lebih awal datangnya daripada Mbah Danu yang
tidak punya mobil sehingga yang bereaksi tangan di stetoskop Dokter
Umar, bukan tangan dan air ludah Mbah Danu.
”Malaria,” diagnose Dokter Umar Chattab di kamar Mbok Rah yang
gelap. Ia memberi resep kinine, yang pada masa itu satu-satunya obat
yang mujarab untuk malaria. Setelah memberi petunjuk-petunjuk lain
tentang makan dan rawatan si sakit, Pak Dokter pulang. Penyakit Mbok
Rah makin lama makin keras. Pak Jaksa dan Bu Jaksa dan tetanggatetangga
dekat, tahu benar apa sebabnya. Kualat Mbah Danu! Dan
mereka mendesak, agar supaya Mbah Danu dipanggil, tetapi sebagai
jawaban, Mr. Salyo memanggil Dokter Umar Chattab. Soal ini jadi
perkara kehormatan baginya, dan perhubungan antara mertua dengan
menantu jadi tegang. Nyonya Salyo dengan susah payah bisa tetap
tinggal dengan netral, tetapi sebagaimana juga di dalam politik ia
dipandang dengan marah oleh pihak yang bertentangan. Namun, ia
tetap mempertahankan politik bebas yang pasif.
Dokter Umar Chattab heran. ”Kininenya sudah Tuan berikan
sebagai yang saya tetapkan?” tanyanya.
”Ya,” jawab Nyonya Salyo mendahului suaminya. ”Saya sendiri
yang memberikan pil-pil itu kepada Mbok Rah.”
Dokter Umar Chattab dengan tidak mengubah ketetapannya.
Hanya saja ia berpesan agar waktu menelan pil si sakit diawasi
sungguh-sungguh.
Keadaan Mbok Rah makin lama makin buruk dan malamnya lagi
ia mati.
Perang dingin kini mencair jadi gugatan-gugatan lisan yang pedas,
meskipun tak ditujukan secara langsung. Dengan tak dipanggil, Mbah
Danu datang sendiri. Mr. Salyo mengundurkan diri ke dalam ruang
tamu. Asbaknya penuh dengan puntung sigaret.
”Kita telah berbuat sebaik mungkin,” kata Nyonya Salyo menghibur
suaminya.
”Mengapa, Jeng, mengapa ia meninggal?” seru Mr. Salyo dengan
gairah sambil memeluk bahu istrinya yang tidak menjawab.
”Kita tak bisa percaya kepada nonsense itu, bukan?” katanya lagi.
”Innalillahi wa inna lillahi raji’un,” kata Nyonya Salyo. Ketika fajar
menyingsing, persiapan-persiapan untuk penguburan dimulai. Pada
jam 7 orang-orang masuk ke kamar jenazah dan mengangkatnya keluar.
Mr. Salyo dan Nyonya ikut menyaksikan jenazah dari tempat ia dan
Dokter Umar Chattab menderita kekalahan terhadap mertuanya dan
Mbah Danu. Nyonya Salyo yang mendampingi suami di kamar itu
dalam hati kecilnya cenderung kepada ayah bundanya, tetapi merasa
harus solider dengan kekecewaan suaminya. Hawa di dalam kamar
itu pengap, tambah menyesak dada oleh asap kemenyan. Mr. Salyo
membuka jendela lebar-lebar, sehingga sinar matahari masuk dengan
gelombang besar. Suatu sosok tubuh muncul diambang pintu, Mbah
Danu. Matanya membara. Mr. Salyo merasa tengkuknya dingin. Ia
menghela napas panjang dan melemparkan pandang terakhir kepada
bale-bale tempat semalam jenazah berbaring. Dengan sangat tiba-tiba
ia terpekik dan telunjuknya diacungkannya ke sudut kamar. Matanya
terbelalak lebar-lebar. Nyonya Salyo dan Mbah Danu menengok. Dan
juga mereka melihat pil kinine membukit di lantai di bawah bale-bale
Mbok Rah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar