Sabtu, 14 Januari 2012

Meredam Matahari di Kala Kelam Murparsaulian

Pada akhirnya apapun yang terjadi, Ahya berusaha terus agar bisa melangkah
dengan tenang.
Melewati hidup, walau debar-debar keperihan selalu mengikutinya, namun
tiada lagi yang dapat disesalkan, sebab pedih dan bahagia hanya dipisahkan
oleh sehelai benang, sulit untuk ditebak.
Begitu kesimpulan sementara yang dipahami Ahya dari perjalanan hidupnya
yang rumit itu.
Bulan pucat pasi pada seperempat malam yang mengiba sedih.
Ahya menyisir malam sendirian, bersandar di dinding-dinding sepi.
Bibirnya mendesis garang, menenangkan pikirannya yang jauh
melayang sampai ke sebuah kota yang jauh dari tubuhnya yang
bersandar lemah di kursi kayu taman itu. Taman, di mana orang-orang
banyak menghabiskan waktu yang kian terengut rutinitasnya. Bekerja
monoton sepanjang hari. Begitulah dari waktu ke waktu. Tak ada tersisa
untuk berpikir.
Ahya menghitung-hitung sudah berapa kali ia duduk menyendiri
seperti ini. Mengapa sepi selalu membayangi hidupnya. Malam ini
sengaja untuk tidak melakukan aktivitas rutinnya. Bosan, hal itu selalu
terlontar dari mulutnya.
”Kau lelaki yang kesembilan ratus memelukku,” rintih Ahya
tertahan memendam dendam. Bintang makin terang. Sedang bulan
makin cerah saja memaknai setiap desah nafas Ahya dan Pak Heli yang
semakin larut dalam pergumulan tanpa tepi.
Hujan makin lebat seperti hendak tenggelamkan bumi. Usai sudah
petualangan Ahya malam ini. Di benaknya yang ada hanya sejumlah
angka-angka dalam hitungan dollar, ringgit, atau rupiah pun jadilah.
”Yang penting duit, asal dalam jumlah banyak,” ucapannya terkadang
dalam kelirihan yang menghempaskan ke dinding risau yang berdiri
kokoh di kisi-kisi hatinya.
Malam makin memburu pagi. Subuh-subuh sekali perempuan
cantik tinggi semampai itu keluar dari kamar hotel. Di tasnya setumpuk
uang. Sayup dari kamar no. 16 lagu Blues sempat didengarnya.
Meninggalkan seorang laki-laki yang tadi pagi berbohong pada istrinya.
Pergi dari rumah untuk urusan kantor, keluar kota. Gila!
”Kau lelaki yang kedua ribu,” rintih Ahya pecah, namun, kalimat
yang diucapkannya tak dapat ditangkap jelas oleh laki-laki yang
menidurinya. Di kamar itu, dan di balik malam yang kelam, dendam
Ahya makin dalam. Subuh yang datang untuk kesekian kalinya
disambut dengan sesal yang sesak. ”Sampai kapan aku begini,” tibatiba
pertanyaan yang paling ditakutinya itu muncul.
Sudah berulang kali angka-angka di rekening tabungannya ia
pelototi. Ia tak percaya telah mengumpulkan uang sebanyak itu. Dulu
sebelum terjun ke dunia yang ditekuninya dengan serius ini, isi
tabungannya masih sepi. Tak seramai saat ini.
Ah.., Badrun pasti akan marah jika ia mengetahui pekerjaannya
selama ini. Sedangkan anaknya Selma, sudah besar. ”Tapi mengapa
Badrun tak terbentik niatnya pulang. Begitu sibukkah ia mencari nafkah
di negeri tetangga sana. Atau…..Ah…, setiap kali pikiran itu datang
Ahya selalu berusaha untuk menepisnya. Atau Badrun masuk dalam
deretan nama TKI yang dicambuk. Oh..., alangkah kejamnya hidup,
jika ternyata sangkaannya itu benar. Perempuan itu berjuang di sini
sendiri, dan Badrun bisa dikatakan bertanggung jawab, sedangkan
sepucuk surat pun tak pernah sampai di tangannya yang mengabarkan
bagaimana keadaan laki-laki itu. Benarkah Badrun ikut dicambuk?
Sungguh, berita di koran tadi pagi yang mengatakan puluhan TKI
mendapat hukuman cambuk di negeri jiran Malaysia, cukup
meruncingkan hatinya.
Apa pun yang dialami Badrun saat ini, yang jelas Ahya juga sedang
menderita. Perempuan kata banyak orang cenderung lebih banyak
disakiti daripada laki-laki dan Ahya menyadari hal itu. Tapi jika andai
betul Badrun ikut dicambuk, derita manakah yang lebih pedih di antara
mereka berdua? Ahya menyimpan sekat duka yang tertahan di
kerongkongannya dan menumpuk pedih di dadanya.
Pada akhirnya apa pun yang terjadi, Ahya berusaha terus agar bisa
melangkah dengan tenang melewati hidup, walau kadang debar-debar
keperihan selalu mengikutinya, namun tiada lagi yang dapat disesalkan,
sebab pedih dan bahagia hanya dipisahkan dengan sehelai benang, sulit
untuk ditebak, begitu kesimpulan sementara yang dipahami Ahya dari
perjalanan hidupnya yang rumit itu.
***
Malam ini Ahya tidak ke mana-mana. Ia mendekam di kamar
rumahnya. Berpuluh-puluh pesan lewat SMS masuk, namun tak
dihiraukannya. ”Ini aku di kamar 15 menunggu kamu.” Begitu pesan
itu berulang-ulang. Ahya tahu pesan yang berbunyi seperti itu. Dan
jika mau jujur pesan inilah yang selalu ditunggu-tunggunya. Namun
malam ini ia begitu enggan, badannya letih dan lesu. Berulang-ulang
hand phone-nya berbunyi, Ahya tak hendak menjawab karena tak ingin
berkomunikasi langsung. Ahya pasti bingung untuk menolak, jika
berbicara langsung dengan pelanggannya.
Sudah pukul dua malam, Ahya masih belum tidur juga. Selma
tertidur nyenyak dalam pelukannya. Jarang sekali gadis kecil itu dapat
tidur dalam pelukannya. Sejak ia berumur tiga tahun, bocah itu sudah
diasuh oleh Anum sampai usia lima tahun sekarang ini. Tapi entah
mengapa malam ini Ahya rindu sekali memeluk anaknya,
mendekapnya, dan rindu tidur seranjang. Rindu itu juga menyentaknyentak
hati Ahya. Rindu kepada suaminya Badrun, yang entah kapan
pulang dan entah bagaimana nasibnya kini.
Jalan seperti inilah akhirnya ditempuh Ahya untuk memenuhi
segala kebutuhannya. Bahkan ia dapat hidup mewah. Selma tidak
ketinggalan dari teman-temannya. Gadis kecil itu bisa mengenakan baju
bagus-bagus. Bila kawannya bersepeda, ia juga dibelikan sepeda oleh
ibunya. Sama seperti anak kepala imigrasi di sebelah kanan rumahnya.
Ahya makin tak percaya diri. Niatnya untuk keluar dari lembah
hitam itu pupus sudah, bahkan ia berjanji tidak akan keluar. ”Inilah
duniaku. Dunia di mana sulit membedakan antara yang boleh dan tidak
boleh, antara yang halal dan yang haram. Masa bodoh!” Begitu selalu
Ahya berkata bila terpikir hal itu. Toh pikirannya sudah berusaha untuk
jadi orang baik-baik selama ini. Mengasuh kesetiaan menanti Badrun
yang pamit padanya ke negeri jiran untuk mencari kerja, mengubah
penghidupan. Namun Badrun hanya mengirim belanja selama enam
bulan. Setelah itu ia harus banting tulang sebagai buruh pabrik, sendiri
dan sendiri. Hingga ia menutup telinga atas gunjingan tetanggatetangganya
dengan profesi sebagai wanita penghibur.
***
Sudah lima belas hari Ahya tidak keluar rumah. Badannya terlihat
bertambah kurus. Kini ia tak kuat lagi mengantar jemput Selma ke
sekolah, padahal tujuannya istirahat untuk memperhatikan kehidupan
anaknya yang tunggal itu. Sekedar istirahat sebentar beberapa saat,
berhenti dari aktivitas malamnya, karena Ahya menyadari Selma
sedang tumbuh, jadi perlu perhatian. Perempuan itu juga tak berniat
untuk berhenti selamanya, karena targetnya mengumpulkan uang
sebanyak-banyaknya untuk sekolah anaknya belum tercapai.
Segumpal risau membayang di wajah Ahya. Rencana untuk sekedar
sejenak memperhatikan anaknya musnah. Bahkan kini, yang mesti
diperhatikan dirinya sendiri. Untung anaknya Selma tidak terlalu
banyak menuntut.
Kehadiran ibunya untuk beberapa saat di rumah memercikkan rasa
bahagia di hati gadis kecil itu. Walau kadang nalurinya mengatakan
kebahagiaan yang dirasakannya saat ini tak lengkap, tanpa kehadiran
seorang ayah. Seperti teman-temannya yang lain.
Suatu ketika, saat pendaman rasa di hatinya tak terbendung lagi,
ia menanyakan perihal ayahnya pada Ahya. ”Ma, kapan papa bisa di
rumah lagi, seperti mama saat ini?” Pertanyaan yang membuat remuk
hati Ahya. Kalimat itulah yang selama ini berusaha dibungkamnya dari
mulut Selma. Ia takut dan tak siap menjawab pertanyaan itu.
Ada titik hendak jatuh, bergulir di matanya yang mulai cekung.
”Tak lama lagi papa juga pasti akan berkumpul bersama kita. Papa
sayang sama Selma, hanya saja saat ini papa belum ada waktu. Papa
harus kumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk sekolah Selma.
Kamu mau jadi orang pintar kan,” jawab Ahya tegar, namun ada sekatsekat
yang bergetar dari tenggorokannya.
Ia belai rambut gadis kecilnya, buah hati perkawinan dengan
Badrun. Ia ingat kebahagiaan yang pernah ia rasakan, saat Badrun selalu
setiap subuh membangunkannya dengan kecupan, membelai perutnya
yang kian membesar. Dan sakit luar biasa yang ia rasakan ketika
melahirkan anak pertama mereka, Badrun di sisinya, memberi
kekuatan, harapan hidupnya.
Dengan Badrunlah ia mengenal hidup susah. Jauh beda dengan
kehidupan keluarganya yang serba mewah. Bersama Badrun pula ia
terbiasa pergi ke mana-mana naik mikrolet, bajaj, tanpa sedan mewah
papanya.
Akh, tiba-tiba semua rekaman peristiwa selama ini bermain lagi
dalam benaknya. Sejak pertemuan pertamanya dengan Badrun, teman
sekolahnya yang pada mulanya bersikap acuh padanya. Namun Ahya
tertarik wajah ganteng itu. Itulah awal kehidupannya. Sekolah mereka
sama-sama tak selesai. Ahya lari dari rumah dan memilih Badrun
sebagai teman hidupnya, padahal mereka belum punya apa-apa.
Ahya anak sulung itu dikucilkan dari keluarga, dianggap telah
mencemarkan nama baik keluarga, kawin dengan orang berkelas
bawah. Badrun satu-satunya tempat Ahya menggantungkan harapan.
Dua tahun hidup bersama, Badrun akhirnya memutuskan untuk
mencari pekerjaan ke Malaysia. ”Bukankah semasa bujang dulu Abang
sering jadi TKI ilegal. Kenapa sekarang Adik berat melepas Abang. Toh,
Abang akan pulang lagi membawa modal untuk kehidupan kita. Selma
tidak boleh seperti kita, ia harus sekolah dan jadi orang. Kita harus
mendidik dengan baik, mendidik tanpa uang omong kosong akan
berhasil.” Itulah ucapan Badrun yang saat ulang tahun perkawinan
mereka yang kedua. Dua hari kemudian, Badrun mewujudkan apa yang
pernah diucapkannya itu. Ahya mengantar kepergian suaminya dengan
air mata kepedihan dan perasaan ragu menjalani hidup.
***
Hujan deras senja itu Ahya duduk muram di belakang meja
sendirian. Di depan berserakan botol Jhoni Wolker dan bir. ”Aku harus
kembali lagi dan kuat menjalani warna hidupku yang dulu,” batinnya
mendesis. Sudah dua jam seseorang yang berpesan lewat SMS itu belum
juga datang. Gigil tubuhnya ditahannya. Lesu dan letih mendera tubuh
dan batinnya. Tapi ia harus kuat. Terbayang wajah Selma yang tertidur
pulas sore tadi ketika ia berangkat dari rumah. Untuk pertama kalinya
ia memulai kehidupan malamnya lagi. Setelah berpikir tak ada pilihan
selain kembali.
Dua detik berselang, sosok tubuh cantik, tinggi semampai itu naik
mobil Volvo biru tua. Mobil itu melaju menuju arah selatan. ”Kita akan
bersenang-senang, mungkin untuk dua atau tiga hari,” ujar seorang
lelaki. Ada titik yang mau jatuh namun tertahan di bulir-bulir waktu.
Mimpi Ahya tadi malam berlanjut malam ini. Ia masih saja merangkak
menyusuri jalan gelap itu, sendiri. Di negeri seberang sana, beribu TKI
masih juga menyimpan mimpi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar