Karya Harris Effendi Thahar
Dari suara dan sopan santunnya menyapa,
saya cukup simpati. Tetapi melihat tampangnya,
pakaiannya, dan bungkus rokok yang sekilas saya
lihat di kantung kemejanya, saya kurang berkenan.
"Saya Darmon, teman anak Bapak, Maya, yang
mengantar malam-malam sehabis demo tempo
hari."
"Oh, ya? Saya tidak ingat kamu waktu itu. Tetapi,
saya pikir Maya masih belum pulang dari kampus.
Mau menunggu?" tawar saya tanpa sengaja dan saya
berharap dia cepat-cepat pergi. Tetapi, tampaknya
dia lebih lihai dari yang saya duga.
"Tidak apa-apa Pak, kebetulan saya sudah
lama ingin ketemu Bapak, ngomong-ngomong soal
sikap pemerintah terhadap gerakan reformasi
oleh
mahasiswa."
"Oh, apa tidak salah? Saya kan bukan pejabat,
cuma pegawai negeri biasa," kilah saya sambil
terus menyiram pot-pot bonsai kesayangan
saya di
teras.
"Justru itu, Pak. Kalau Bapak seorang pejabat
atau bekas pejabat, pasti Bapak terlibat KKN dan
tidak suka dengan saya karena saya salah seorang
dari mahasiswa yang ikut mendemo
pejabat teras
di daerah ini."
Entah bagaimana, saya merasa tersanjung dan
mulai simpati pada anak muda itu, meski dalam hati
bercampur rasa was-was kalau-kalau dia ternyata
pacar Maya. Lebih jauh lagi, rasanya, Maya tak
pantas pacaran dengannya. Setidaknya, menurut
keinginan saya, pacar Maya, yang sekarang baru
sembilan belas usianya itu, haruslah
tampan dan kelihatan punya wawasan luas. Ini Darmon, seperti
yang diperkenalkannya
tadi, kelihatan tidak intelek
dan lebih mirip kernet bus kota.
Ia begitu saja mengikuti langkah kaki saya
memilih tanaman-tanaman kecil saya yang patut
disemprot air karena kelihatan kering. Sepertinya
Darmon tidak begitu tertarik dengan tanaman,
malah mencecar saya dengan pertanyaanpertanyaan
sekitar politik dalam negeri.
"Ngomong-ngomong, kamu jurusan apa?"
"Pertanian. Budi Daya Pertanian," jawabnya
datar.
Saya terkesima dan telanjur menduga ia
belajar sosial politik, mulai kurang simpati karena
dia justru tidak tertarik dengan hobi saya.
"Ngomong-ngomong, kamu tahu tidak, nama
latin bonsai yang ini?"
"Oh, pohon asem ini? Kalau tidak salah,
Tamaridus indica."
"Kalau yang ini?" uji saya lebih jauh, kalau
memang ia mahasiswa fakultas pertanian.
"Ini jenis Ficus, Pak. Ini sefamili dengan karet.
Tepatnya yang ini Ficus benyamina."
"Kok kamu kelihatan tidak tertarik?"
"Bukan itu soalnya, Pak saya pikir, ini kesenangan
orang yang sudah mapan seperti Bapak.
Tidak mungkin saya menggandrungi tanaman yang
membutuhkan perhatian besar dan halus ini dalam
keadaan liar seperti ini."
"Liar? Kamu merasa orang liar?"
"Nah, Bapak salah duga lagi. Bukan saya orang
liar, tetapi situasi perkuliahan, praktikum, kegiatan
kemahasiswaan, dan tambah lagi situasi sekarang
yang membuat mobilitas saya tinggi. Jadi, bolehlah
disebut liar, namun dalam pengertian
yang saya
sebutkan tadi."
Diam-diam saya merasa ditemani. Saya menawarkan
duduk berdua sambil minum kopi di
teras. Saya ingin tahu lebih jauh apa yang ada dalam
hati pemuda mirip gembel itu.
"Maaf, kalau disuguhi kopi begini, keinginan
merokok saya jadi muncul. Bapak keberatan?"
ujarnya.
"Inah, bawa asbak rokok ke sini," desak
saya kepada pembantu yang baru saja masuk
setelah menghidangkan dua cangkir kopi. "Nah,
itu tandanya saya tidak keberatan. Sekarang, coba
kamu ceritakan keinginan kamu terhadap kondisi
negara ini setelah pemilu nanti. Bapak mau tahu
langsung dari aktivis reformasi."
Darmon tersenyum miring sambil menghembuskan
asap rokoknya yang kelihatan mahal.
Lalu ia buka suara. "Saya jadi kikuk, Bapak perlakukan
saya seperti anak kecil terus."
"Kamu pikir begitu? rasanya kok ndak."
"Apa bedanya Bapak tanya saya begini 'Apa
cita-citamu, Mon?' Sama saja kan? Maksud saya,
pertanyaan Bapak itu terlalu umum."
"Mestinya saya tanya apa? Baik, begini. Menurut
kamu, Mon, bagaimana prospek perekonomian
bangsa Indonesia setelah pemilu?"
"Ini insting saya saja, Pak, ya. Menurut saya
kalau tidak terjadi perang karena tidak puas,
karena curang lagi misalnya, ekonomi kita bakal
merangkak pelan sekali. Butuh waktu tiga sampai
lima tahun. Kita baru bisa bangkit lagi setelah tujuh
tahun," ujarnya lancar.
Saya mulai kagum dengan keberaniannya,
kepolosannya, dan kelancarannya berbicara.
Selama ini tidak ada anak muda yang bicara dengan
gaya selancar dan sejujur dia, apalagi anak buah
di kantor. Tiba-tiba saya menginginkan
anak buah
saya seperti Darmon. Tidak perlu membungkukbungkuk
dan mengucapkan maaf berkali-kali,
padahal yang diterimanya adalah haknya sendiri.
Senja mulai merambat. Kami terlibat dalam
percakapan yang menarik. Bahkan, ketika Maya
pulang, mendorong pintu pagar, hampir-hampir
tidak menjadi perhatian benar bagi Darmon. Dia
hanya saling tersenyum, meski saya tahu, di belakang
saya mereka pasti akrab sekali. Justru Darmon pula
yang mengingatkan saya tentang senja.
"Pak, sudah senja. Terima kasih atas waktu
Bapak untuk saya. Saya pamit dulu."
"Bagaimana kalau Maghrib di sini saja?"
terlontar begitu saja dari mulut saya. Saya merasa
telanjur, jangan-jangan dia tidak seagama dengan
saya.
"Terima kasih, saya selalu mengusahakan shalat
Maghrib dan Isya di masjid. Assalamu’alaikum."
Di meja makan, malam itu, saya mau tahu
reaksi Maya. Sedapatnya saya ingin tahu aspirasi
anak-anak agar tidak terlalu dalam jurang pemisah
antargenerasi. Dari bacaan-bacaan, sering orang
tua disalahkan karena tidak nyambung dengan
keinginan anak-anak. Saya tak mau menjadi orang
tua yang konyol. Oleh sebab itu, saya menanyai
Maya di hadapan mamanya dan adiknya, Pada, yang
kini sudah siswa SMA kelas satu.
"Kok, kamu tidak keluar lagi, Darmon ke sini
kan, mau ketemu kamu, Maya."
"Ih, Papa. Orang begitu saja dilayani," jawabnya.
"Jadi, dia bukan pacar kamu?"
"Amit-amit, Pa. Kalau yang begituan, di kampus
banyak, tuh."
"Maksud Papa, meski dia bukan pacar kamu,
kalau dia datang baik-baik ingin ketemu, tidak ada
salahnya ditemui sebentar. Papa tidak keberatan."
"Kan, sudah ada Papa yang melayani. Asyik lagi,
pakai ketawa-ketawa ngakak. Untuk Papa ketahui,
dia itu sekarang lebih banyak mangkal di markas
reformasi. Kuliah jarang dan nilai semesternya
anjlok semua. Orang seperti itu tidak punya masa
depan, lho, Pa."
"Apa dia pemusik rock?" tanya Papa.
"Tau. Orang lain fakultas, lagi pula, saya cuma
kenal waktu demo tempo hari," jawab Maya.
"Kenapa?"
"Rambutnya panjang segitu, mestinya, dia
ngerock. Zaman sekarang, rambut anak muda, kan,
kayak Papa ini, cepak."
"Mama dengar sekilas tadi, dia ngomong
politik tinggi sama Papa kamu di teras. Sekolah saja
berantakan, kok mau-maunya omong politik. Apa
dia itu bisa menyelesaikan sembako?"
"Wong, tampangnya serem, ya, Nya?" Inah ikut
bicara sambil menuangkan air ke gelas istri saya.
"Ya, kamu lihat waktu ngasih kopi tadi, ya?
Mama juga tidak sudi kalau pacar kamu kumal
begitu, Maya."
Saya cuma mengunyah makanan diam-diam
karena kalau mama anak-anak sudah buka bicara
larinya pasti ke sembako, hidup susah, makan gaji
tanpa tambahan. Ujung-ujungnya, akan sampai soal
saya, yang tidak pandai berinduk
semang sehingga
tak pernah kebagian memegang
proyek, padahal
sudah dua puluh tahun bekerja sebagai pegawai
negeri.
"Papamu ini memang sudah dari sononya
aneh-aneh," Rini, istri saya, sudah mulai seperti
yang saya duga.
"Memangnya, Papa aneh?"
"Mahasiswa gembel begitu saja diajak ngobrol
ngalor-ngidul. Akrab lagi. Kemaren ini, Sanip datang
menawarkan taktik untuk menggaet
proyek, eh,
malah disuruh pergi."
"Dia. Sanip itu, memang, biang kongkalikong
di kantor. Yang penting kantungnya penuh. Tidak
peduli itu bukan uang nenek moyangnya. Dia itu
sudah pernah kena peringatan. Untung bos kami
masih kasihan. Kalau tidak, dia itu diadili,"
jelas
saya.
"Makanya, pandai-pandai, agar kita bisa hidup
agak lumayan."
Saya cepat-cepat mencuci tangan, meski masih
tersisa nasi dan lauk di piring. Saya mau cepatcepat
ke teras, mendinginkan suhu badan di bulan
Februari yang panas, setelah hampir enam bulan
tidak diguyur hujan.
"Moneter, ya, moneter, orang-orang hidup
pada senang juga. Papa kalian? Jangankan memperbaiki
mobil, malah dijual. Sekarang, rasain, tiap
pagi berebut bus kota."
Saya merasa bersyukur, istri saya tukang
protes sejak dulu. Kalau tidak, mungkin saya sudah
tidak bergairah lagi bekerja. Saya tidak perlu
bersedih karena menurut saya, masih banyak orang
Indonesia yang hidupnya memalukan,
meskipun
berpendidikan lumayan.
Sebagai kepala subbagian, saya selalu datang
tepat waktu. Seperti biasa, selalu saja saya orang
pertama, itu biasa. Tetapi ketika lewat di meja
Sanip, saya jadi marah. Ternyata, surat edaran yang
saya suruh kirim atas nama bos masih bertumpuk
di mejanya. Begitu saya melihat batang hidungnya,
langsung saya tuntut.
"Hei, edaran itu belum juga kamu kirim?"
"Ya, ya, Pak. Pagi ini, saya suruh Mardambin
mengirimnya."
"Janji, ya?"
"Janji, Pak."
"Kamu sudah ngopi?"
"Sud…eh, belum Pak."
"Ke kantin, ayo, ikut saya."
"Terima kasih, Pak. Saya ikut!"
Saya mau tertawa, tetapi saya tahan. Tibatiba
saya ingin menggantinya dengan Darmon.
Dan, tiba-tiba pula, sewaktu minum kopi di kantin
saya katakan pada Sanip agar dia meniru vitalitas
kejujuran dan keberanian seperti Darmon.
"Darmon yang mana, Pak?"
Saya tertawa. Kali ini, tidak bisa saya tahan.
"Ada anak muda, mahasiswa, aktivis reformasi,
tukang demo dan kelihatan kumal, serta rambutnya
tak terurus, tetapi dia pintar."
Sanip memandang wajah saya, seperti ada
sesuatu yang hendak dikatakannya. Sanip menghirup
kopinya pelan-pelan, lalu membuang
pandang
jauh ke depan, menembus tembok kantor.
"Mengapa kamu, kok, sedih amat kelihatannya,
Nip?"
"Habis, Bapak menyindir saya."
"Kenapa? Kamu tersinggung, ya? Meski saya
atasan kamu, usia kita, kan, hampir sama. Kamu
jangan sungkan-sungkan berkata jujur seperti
Darmon yang saya kenal itu."
"Saya, memang, cuma tamat SMA, tidak
sarjana seperti Bapak. Tetapi saya ingin anak saya
jadi sarjana. Dia lulus UMPTN di fakultas pertanian.
Tetapi kini, saya tak sanggup membiayainya
lagi
hingga semester ini dia istirahat kuliah. Kasihan
dia!"
"Siapa anakmu?"
"Darmon!"
Sumber: Kumpulan cerpen Dua Tengkorak Kepala,
cerpen pilihan Kompas, 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar