Lukisan ini dibuat oleh seorang pelukis, yang
sekarang alih profesi sebagai pedagang sebuah toko.
Dia memajang lukisan itu di tengah-tengah tokonya.
Menurut pemilik toko, lukisan yang dibuatnya itu
adalah karya bagus yang tidak bisa dibuat lagi. Namun,
harus dinikmati
oleh banyak orang.
Lukisan itu berbentuk seorang perempuan
yang berwajah biasa. Namun, kelihatan sangat
bersenang hati. Itu gambar Sumi.
Sumi sudah tidak ingat, kalau dia pernah dilukis.
Sebab kini dia istrinya Bejo, lelaki sedesanya.
Sumi
mencintai suaminya. Ucapan suami adalah perintah
bagi Sumi, yang diterimanya
dengan lego lilo.
Pada suatu kali temannya, Juminten, yang
bekerja di pabrik datang dan bercerita. "Hidup
sebagai buruh pabrik, gajinya kecil. Tapi, aku senang,
daripada menunggu uang dari suamiku, yang kadang
memberi tapi lebih banyak tidak. Aku bisa jalanjalan
ke mana saja dengan uangku."
Sumi sebetulnya ingin juga mencoba, barang
sebulan atau dua bulan, agar bisa beli baju dan
jalan-jalan seperti Juminten. Tentu saja, Bejo tidak
pernah memberi izin kepada Sumi dan dengan
telak Bejo bicara kepada Juminten, "Kalau suamimu
mengizinkan kau kerja di pabrik, itu urusannya. Tapi,
kau paham kan kalau Sumi itu hakku."
Ketika Bejo berkata begitu kepada Juminten,
di tempat yang lain, pemilik lukisan bercerita ke
seorang langganannya, mahasiswi yang suka ngebon
di tokonya. "Sumi seorang perempuan sederhana
yang sangat menikmati hidup ini."
Mahasiswi itu menimpali, "Betul Pak, mungkin
perempuan seperti dia lebih bisa menikmati
hidup
ini. Saya terkadang iri sebab dia bisa memecahkan
kehidupan ini dengan cara yang sederhana."
Sumi yang sedang dibicarakan, baru saja
ditampar suaminya. Karena Sumi masih bicara
tentang keinginannya untuk bekerja di kota.
"Kalau saya dengar ucapanmu lagi, kamu tahu
sendiri akibatnya!"
Sumi tertunduk. Dia takut sekali dengan ucapan
suaminya.
Pemilik toko itu, selanjutnya berkata kepada
teman bicaranya. "Saya tertarik melukis dia. Karena
saya anggap dia begitu bahagia."
Dan mahasiswi itu cepat-cepat menjawab,
"Yah, kadang-kadang kita tidak bisa tahu lagi apa
yang kita kerjakan untuk menghadapi hidup yang
desak-mendesak ini."
Sementara itu, tiba-tiba Sumi ingin sekali
punya anak. Dia merasa perlu memiliki anak yang
pintar, agar bisa membawanya ke kota untuk belanja
dan jalan-jalan. Tetapi Bejo tidak setuju dengan
pikirannya. Menurut Bejo, dia kan sudah punya tiga
anak dari suaminya yang terdahulu.
Dan lagi Sumi
sudah berjanji akan menjadi ibu dari anak-anaknya.
Bejo mengatakan,
sebaiknya dua atau tiga tahun
lagi mereka punya anak, kalau Bejo sudah punya
pekerjaan yang lebih bagus. Sumi sebetulnya ingin
membantah.
Seorang penggemar seni datang ke Pedagang
itu, menawar gambar Sumi yang tersenyum
dengan
harga yang selalu diimpikan oleh setiap pelukis. Di
sisi lain, di kebun jati, Sumi merasa sulit bernapas.
Dia membayangkan, betapa bagusnya kehidupan
orang lain. Seandainya
dia punya anak dari Bejo ...
Tapi memang, pada saat ini, Bejo tidak ingin punya
anak dari Sumi! Bejo sekarang, rupanya lebih suka
pergi dengan perempuan lain. Menurut Bejo, Sumi
tidak bisa jadi perempuan yang baik karena anganangannya
berkeliaran tentang kehidupan di kota.
Padahal Bejo sudah merasa jadi suami yang baik
sehingga yang salah pasti Sumi.
Mahasiswi itu sibuk memotret gambar Sumi,
yang sebentar lagi dijual ke seorang kolektor.
"Suatu saat, saya kepingin ketemu tokoh
Bapak itu. Karena perempuan itu begitu bahagia.
Sedang saya sendiri, sulit mengklarifikasi,
mengarifkan,
apa arti bahagia ini."
Sumi sedang bicara dengan orangtuanya,
"Sebenarnya, saya takut sekali ke kota, Pak. Tetapi
Bapak mestinya tahu, kalau suami saya sebentar lagi
akan menikah dengan tetangga sebelah rumah."
"Kamu tidak pernah mau belajar jadi istri
yang baik," kata bapaknya berang.
Sumi gelagapan. Dia merasa salah dan tidak
tahu apa yang bisa diucapkan kepada bapaknya.
Rasanya dia begitu jenuh pada Bejo, tapi dia sendiri
tidak bisa menerangkan, jelasnya bagaimana?
Sumi ke kota, sebagai buruh pabrik. Di
antara jam-jam kerja, dia merindukan keluarganya,
bahkan Bejo yang kabarnya sudah menikah dengan
perempuan lain.
Kedip lampu jalanan aneh, membuat dia
merasa kangen dengan kebun jati, Bejo, dan
desanya.
"Jadi, Sumi sudah sebulan di kota ini," kata
pedagang itu.
"Pak, saya ingin melihat lukisan saya. Kata
Bapak, di lukisan itu saya begitu bahagia."
"Maaf ya Sum, lukisan itu sudah saya jual.’’
Sumi tertegun Bukankah pedagang itu
pernah berjanji, tak bakal menjualnya, sekali pun
gambarnya ditawar mahal.
Dengan kacau dia pulang ke rumah
kontrakkannya
yang sedang sepi. Dia tersedot
pada suatu pikiran yang aneh. Apakah mungkin
Bejo dan pelukis ini yang membuat dia tidak
sesenang dulu? Cepat-cepat pikiran itu segera
dimatikan. Dia ingin kerja lebih keras seperti
Juminten, agar dapat gaji lumayan. Tapi akhirakhir
ini, sering terpikir olehnya kedua lelaki itu
(Bejo dan pelukis) yang pernah dicintainya. Dan
keduanya kini membiarkan dia terlempar ke kamar
sempit ini. Yah, Sumi memang tidak puas terhadap
segala hal. Entah sejak kapan kamar kontrakan
yang dihuni lima orang ini membuat
Sumi sering
merasa kepanasan sehingga
dia sulit tidur. Padahal
kerja di pabrik sangat melelahkan.
Lukisan Sumi terpampang di rumah mewah
sang kolektor. Lantas, seorang bule tertarik
pada
gambar Sumi. Dia membelinya untuk disimpan
di museum negerinya yang dingin. Menurut si
Bule, lukisan itu akan mengajarkan
bangsanya,
bagaimana tersenyum terhadap
hidup ini. Waktu
itu Sumi sedang menghitung
rupiahnya. Dia selalu
ingin membelikan
adiknya sebuah tas sekolah yang
bergambar.
Tapi selalu uangnya hampir tak tersisa.
Oleh karena itu, dia bercerita kepada Juminten,
ingin membinasakan
dua orang
lelaki itu. Juminten
yang mendengar ucapan Sumi tertawa. Bukankah
ada lelaki lain yang diam-diam mencintainya, Pardi,
mandor di pabrik mereka. Menurut Juminten,
Pardi lebih baik dari si pelukis dan Bejo. Sumi
tidak mau ngomong. Dia mencintai dua lelaki itu.
Sedang Pardi, sebaik apa pun, dia tidak pernah mencintainya.
Mahasiswi dan pedagang itu sedang terharu
karena sebentar lagi, lukisan itu akan diangkut ke
negeri Bule yang membelinya. Si Bule menghibur
mahasiswi ini, "Saya akan merawatnya baik-baik.
Siapa tahu Anda suatu hari kelak mengunjungi
negeri kami. Anda akan melihat, betapa cintanya
kami pada lukisan yang berwajah
Anda semua.
Profil yang sederhana dan bahagia."
Dan gambar Sumi memang sedang tersenyum.
Sedang Sumi sendiri, sedang menangis. Dia
mendengar kabar dari kampung kalau Bejo sudah
punya seorang anak lelaki dari istrinya yang baru.
Dan lukisannya bakal diangkut ke negeri lain.
"Saya akan membinasakan mereka! Saya tidak
bakal puas kalau tidak membinasakan Bejo dan
pelukis itu," jerit Sumi sambil menangis.
Juminten memberi nasihat, "Sudahlah Sum,
pokoknya Pardi sungguh-sungguh cinta sama kamu.
Buat apa mikir orang yang tidak cinta pada kita."
"’Bukan itu masalahnya!" kata Sumi berteriak.
"Jadi apa?" kata Juminten.
Sumi sendiri tidak bisa menerangkan. Cuma
saja dia merasa kebenciannya kepada kedua lelaki
itu semakin melebar dan kuat.
Dan mahasiswi itu berkata kepada pedagang,
"Lukisan Sumi sudah berangkat ya, Pak? Mestinya
saya memberi selamat pada pelukisnya.
Apakah
Bapak punya minat untuk melukis kembali, setelah
karya Bapak yang gemilang itu?"
Pedagang itu menggelengkan kepala.
Sumi adalah masa muda yang tidak bisa
kembali. Sungguh!
Sumi sedang menuju rumah pelukis. Dia
akan membunuh pelukis itu lebih dahulu. Setelah
itu Bejo. Kemarin pabrik menciutkan karyawannya.
Dia termasuk yang diberhentikan.
Bukankah
kesedihan ini tidak pernah dipedulikan oleh orang
yang telah mengambil seluruh hati dan tubuhnya
tanpa dia pernah menuntut imbalan?
Ketika sedang menuju rumah yang dimaksud,
dia dihadang oleh Pardi. "Apa betul kau mau
membinasakan orang?"
Sumi tidak menjawab. Dan Pardi berjalan di
sebelahnya.
"Apakah itu cita-citamu? Sebaiknya kau
mampir dulu ke rumahku, untuk omong-omong."
Sumi merasa malu dan capek. Lantas dia
berhenti. Pardi dengan sigap berkata, "Mengapa
mesti membinasakan orang lain? Mengapa kita
tidak kawin saja?"
Sumi dengan heran menatap Pardi. Jadi,
yang ngomong barusan bukan pelukis atau Bejo
suaminya?
Sumi sudah berada di muka toko. Dilihatnya
pelukis dan mahasiswi itu sedang ngobrol.
Pedagang yang melihat ekspresi Sumi, gemetar.
"Sum, apa maumu dengan pisau itu. Kalau
kamu mau pinjam uang, katakanlah. Kita kan
teman dari dulu. Dan saya tidak pernah bersalah
kepadamu."
Sumi melihat pedagang itu dengan perasaan
aneh. Benarkah dia tak punya alasan untuk membinasakan
atau dendam pada lelaki yang memberinya
cinta, dan menariknya kembali kala dia baru
saja mengenal dunia, dan merasa jadi perempuan?
"Kalau kamu tidak keluar dari sini, saya akan
lapor polisi!’’
Tiba-tiba Sumi merasa lemas dan keluar dari
toko ini.
"Bapak seharusnya tidak sekasar itu pada
simbol kebahagiaan kita!"
Pedagang itu tidak menjawab. Dan mahasiswi
itu sendiri tidak bisa berpikir apa pun lagi.
Juminten memberi nasihat, "Kita cuma orang
biasa. Tidak usah berpikir aneh-aneh. Lebih baik
kau menikah saja dengan Pardi. Siapa tahu Pardi
akan memberimu anak kembar."
"Entahlah Jum, saya merasa tidak bisa semudah
itu. Kedua lelaki itu telah mengambil seluruh jiwa
dan raga saya."
Kemudian Sumi menangis dan Juminten memeluknya
sembari turut menangis.
Suatu saat, mahasiswi itu berkesempatan
mengunjungi negara si Bule, tempat gambar Sumi
dipajang di salah satu museumnya.
"Yah, saya kira Anda sekarang tahu, kan? Kami
merawatnya dengan baik sekali sehingga gambar
itu masih tersenyum bahagia."
Itu memang gambar Sumi yang masih tersenyum.
Sumi sendiri sedang sulit tersenyum. Bersama
Pardi dia mesti menghidupi empat anaknya.
Itu memang Sumi dan gambarnya.
Sumber: Kumpulan cerpen Sumi dan Gambarnya,
2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar